Keputusan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menaikkan tarif ojek online (ojol) berdampak signifikan terhadap permintaan (order). Penurunan order terasa pada permintaan jarak pendek.
Peneliti The Indonesian Institute Rifki Fadilah mengatakan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan Research Institute of Socio-Economic Development (RISED), sejak diberlakukan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No 12 tahun 2019, mitra pengemudi merasakan adanya penurunan permintaan.
“Ada 75 persen order turun, karena memang ada keseimbangan konsumen yang lama. Mereka sudah nyaman dengan tarif yang murah,” kata dia di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Menurutnya, penurunan ini terjadi akibat dampak psikologis yang diterima oleh konsumen atas kenaikan harga yang signifikan. Dengan adanya tarif baru ini, konsumen yang ingin berpergian jarak dekat cenderung mencari moda transportasi lain yang relatif lebih murah.
“Tadinya konsumen bisa berpergian dengan tarif Rp7.000-Rp8.000, sekarang kan harus minimal Rp10.000. Itu dia yang bikin akhirnya konsumen khususnya jarak dekat berpikir bagaimana jarak dekat tanpa menggunakan ojek online,” tutur dia.
Kendati demikian, kata Rifki, penurunan permintaan dari konsumen tidak berarti pendapatan mitra pengemudi turun. Pasalnya, meski order turun, tarif yang dibayarkan konsumen cenderung lebih tinggi.
Survei ini dilakukan dengan mengambil sampel secara acak sebanyak 12.000 driver ojol. Mereka yang disurvei berasal dari lima kota di Indonesia.
Pada awal Mei 2019, Kemenhub memberlakukan tarif baru ojol yang dibagi dalam tiga zonasi. Berikut tarifnya:
- Zona 1 (Sumatra, Jawa, Bali kecuali Jabodetabek): Rp1.850-Rp2.300 per km dengan biaya minimal Rp7.000-10.000.
- Zona 2 (Jabodetabek): Rp2.000-Rp2.500 per km dengan biaya minimal Rp8.000-Rp10.000
- Zona 3 (Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan lainnya): Rp2.100-2.600 dengan biaya minimal Rp7.000-10.000.
Sumber: Inews.id