Sunat Perempuan: Dilema Kebijakan dan Praktek Keagamaan

lola-ameliaSetiap tanggal 6 Februari diperingati sebagai Hari Internasional Tanpa Toleransi Terhadap Sunat Perempuan. Peringatan ini mumcul dari keprihatinan akan praktek sunat terhadap perempuan. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan bahwa sebanyak 120 anak perempuan dan perempuan sudah mengalami sunat perempuan di 29 negara termasuk Indonesia. UNICEF, lembaga PBB yang concern pada perlindungan anak mengungkapkan bahwa saat ini sebanyak 30 juta anak perempuan di bawah usia 15 tahun, masih berisiko mengalami sunat perempuan.

Dalam konteks Indonesia, praktek sunat perempuan ini masih menimbulkan perdebatan, di kalangan aktivis perempuan, kelompok agama dan juga pemerintah.  Pada tahun 2008, MUI mengeluarkan fatwa yang membolehkan sunat perempuan karena sunat perempuan dianggap sebagai salah satu bentuk ibadah yang wajib dijalankan.

Dalam kontek kebijakan sendiri, terjadi ketidakkonsistenan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Sunat perempuan sebelumnya pernah dilarang melalui Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan, Nomor HK 00.07.1.31047a, tertanggal 20 April 2006 tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan.

Namun, Kementerian Kesehatan kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1636 tahun 2010 yang membolehkan sunat perempuan.

Kenapa dilegalkan praktek ini? Kementerian Kesehatan berpendapat bahwa praktek yang berlangsung di Indonesia bukanlah seperti yang digambarkan oleh PBB. Artinya, pada proses sunat perempuan di Indonesia, tidak dilakukan pemotongan klitoris–sebagai bagian kelamin perempuan-secara keseluruhan, hanya sebagian saja dan atau secara simbolis dengan mengoleskan kunyit.

Namun, langkah simbolis pun berangkat dari pandangan yang merupakan stigma terhadap perempuan, bahwa perempuan tidak bersih dan perlu disunat atau untuk mengelola libido yang besar sehingga perlu disunat (Komnas Perempuan, 2013)

Dilihat dari sisi perlindungan terhadap alat reproduksi perempuan khususnya dan perlindungan atas perempuan umumnya, hal ini juga melanggar hak dan asas-asas perlindungan itu sendiri. Hal ini karena faktanya sunat perempuan bisa menimbulkan kematian dan membuat berkurangnya kenikmatan bagi perempuan saat berhubungan seks. Lebih jauh WHO sudah mengeluarkan release bahwa praktek sunat perempuan bisa menyebabkan kemandulan bagi perempuan.

Sunat perempuan bisa menimbulkan kematian, adalah dikarenakan proses sunat itu sendiri yang tidak di bawah pengawasan otoritas kesehatan yang berwenang dan berkapasitas. Riset yang dilakukan Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menunjukkan 68 persen sunat perempuan di Sulawesi Selatan dan Banten misalnya, masih menggunakan jasa dukun (non medis).

Praktek sunat perempuan yang selama ini dialami terutama oleh anak-anak perempuan juga bisa dilihat sebagai praktek pelanggaran hak anak. Hal ini karena anak-anak yang dipengaruhi lingkungan dan norma sekitarnya, belum bisa mengeluarkan pendapatnya sendiri tentang bagaimana mereka ingin tubuhnya diperlakukan. Sehingga yang ada kemudian adalah anak-anak ‘dipaksa’ menerima perlakuan itu atas nama tradisi dan syariat.

Jika ditilik lebih jauh, benar sunat dilakukan bukan hanya untuk perempuan tapi juga laki-laki. Namun alasan yang sering dikemukakan atas praktek tersebut bias. Sunat bagi laki-laki dikatakan adalah untuk mengeluarkan kotoran dan agar sehat. Sedangkan untuk perempuan, alasan yang sering didengungkan adalah agar jika dewasa, perempuan tidak “ketagihan seks”.

Terlihat bahwa persoalan sunat perempuan ini melibatkan berbagai aspek; kesehatan, agama, politik kebijakan dan sosial budaya juga. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan sepihak untuk melihat praktek ini harus dihindari dan diganti dengan melihat persoalan ini secara holistik dan melibatkan perempuan itu sendiri sebelum membuat berbagai peraturan mengenai tubuh mereka.

 

Lola Amelia-Peneliti Kebijakan Sosial The Indonesian Institute. ameliaislola@gmail.com

Komentar