Resmi disahkan pada Rapat Paripurna ke-13 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masa sidang 2021-2022, Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (RUU IKN) kini menjadi Undang-Undang (UU). Pengesahan yang dipimpin oleh Ketua DPR, Puan Maharani, didampingi oleh empat Wakil Ketua DPR yaitu Sufmi Dasco Ahmad, Rachmad Gobel, Lodewijk Paulus, dan Muhaimin Iskandar. Resminya RUU IKN menjadi UU IKN menjadi sebuah genderang untuk semakin merealisasikan pemindahan Ibu kota Negara Republik Indonesia di tengah pandemi.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dalam paparan acara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada bulan Agustus 2019 menjelaskan ada empat alasan dasar pemindahan ibu kota negara ke luar Pulau Jawa. Pertama, penduduk di Pulau Jawa sudah padat. Proporsi jumlah penduduk di Pulau Jawa mencapai 56,56 persen dari total penduduk Indonesia diikuti Pulau Sumatera sebesar 21,78 persen. Sedangkan, Pulau Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara presentasenya di bawah 10 persen.
Kedua, alasan kontribusi ekonomi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Selama ini, Pulau Jawa masih mendominasi pertumbuhan ekonomi tertinggi Indonesia sehingga muncul istilah Jawasentris. Kontribusi pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa terhadap Indonesia mencapai 58,49 persen (BPS, 2018). Pemindahan ibu kota negara diharapkan mampu mendorong pulau lain untuk ikut berkontribusi meningkatkan PDB Indonesia.
Ketiga, dari segi lingkungan, ada masalah ketersediaan air di Pulau Jawa. Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menunjukan indikator kuning di Jawa Tengah yang berarti bahwa ada tekanan ketersediaan air. Bahkan, di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) indikatornya merah, yang menunjukkan kelangkaan air mutlak. Keempat, terjadi banyak konversi lahan di Pulau Jawa. Alih fungsi lahan pertanian menjadi industri maupun perumahan mendominasi di Pulau Jawa.
Pertimbangan wilayah tersebut mendorong pemerintah untuk semakin mempertimbangkan pemindahan ibu kota. Terjadinya pindah ibu kota tentunya memerlukan anggaran dan waktu yang tidak singkat. Dilansir dari KompasTV, Presiden Joko Widodo mengatakan proses pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, membutuhkan waktu hingga 20 tahun (kompas.com, 20/01/22).
Pemindahan ibu kota negara tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Perencanaan biaya terkait dari mana dan berapa tentunya perlu dipastikan. Pembiayaan tersebut utamanya digunakan untuk persiapan, pembangunan, pemindahan, hingga penyelenggaraan pemerintahan khusus IKN.
Berdasarkan naskah RUU IKN, tidak ada penyebutan nominal pembiayaan IKN. Namun, hanya ada pos sumber pembiayaan. Sumber pembiayaan tertuang dalam Pasal 24 RUU IKN yang intinya biaya IKN berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan pungutan pajak.
Menurut paparan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, Suharso Monoarfa, dalam tayangan video YouTube pada 13 Desember 2021, hingga tahun 2024, pembiayaan IKN menggunakan 53,3 persen dari APBN dan 46,7 persen bersumber dari kerja sama pemerintah (KPBU), swasta, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pendanaan IKN berdasarkan Buku Saku IKN berjumlah Rp466 triliun yang mayoritas terhimpun melalui KPBU. Dalam buku tersebut juga peran APBN digunakan untuk pembangunan istana negara dan bangunan strategis seperti ketahanan nasional, pengadaan lahan dan infrastruktur seperti jalan akses, ruang terbuka hijau, dan rumah dinas Aparatur Sipil Negara (ASN). Skema KPBU meliputi pembiayaan membangun gedung eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta sarana transportasi hingga sarana kebutuhan dasar seperti pendidikan, museum, dan kesehatan. Sedangkan skema pembiayaan dari swasta dan BUMN/BUMD meliputi perumahan umum, pembangunan kampus, sarana kesehatan swasta, pusat perbelanjaan, hingga gedung-gedung pertemuan.
Berdasarkan informasi Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati memaparkan perkiraan kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan ibu kota negara yang baru, dibagi menjadi 3 sumber yaitu Rp89,4 triliun (19,2 persen) melalui APBN, Rp253,4 triliun (54,4 persen) melalui KPBU, serta Rp123,2 triliun (26,4 persen) dari pendanaan swasta.
Terdapat perbedaan informasi sumber pembiayaan antara RUU IKN dengan rincian yang tertuang pada buku saku IKN dan pernyataan Menteri Keuangan. Harapannya, pembahasan RUU IKN yang sudah berubah menjadi UU IKN akan lebih mematangkan perencanaan biaya IKN, sehingga pembiayaan dapat maksimal dan tidak terlalu membebani APBN di tengah pemulihan ekonomi nasional. Peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk tetap mengawasi berjalannya UU IKN dan implementasinya.
Pembiayaan IKN yang menggunakan APBN tentunya perlu lebih dibuat seefisien mungkin dengan membangun kebutuhan dasar ibu kota terlebih dahulu, seperti fasilitas publik (public goods). Sementara, kinerja APBN yang sudah maksimal untuk mengatasi pandemi hingga sekarang ini perlu diapresiasi. Kementerian Keuangan juga perlu bekerja sama dengan Kementerian Investasi untuk mencari sumber pendanaan lain selain APBN.
Nuri Resti Chayyani
Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
nurirestic@theindonesianinstitute.com