Pasca merebaknya pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia, Bank Indonesia (BI) terus bersinergi dengan pemerintah memberikan sinyal responsif dan positif untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Salah satu sinyal responsif dan positif yang dikeluarkan BI adalah dengan menurunkaan suku bunga acuan (BI 7-Days Reverse Repo Rate/BI-7DRRR). Bulan Februari lalu, BI-7DRRR sudah berada di level 3,5 persen (Kontan.co.id, 2021). Diwacanakan, BI tidak akan melakukan penurunan suku bunga lagi, sehingga level bunga acuan 3,5 persen menjadi level bunga terendah yang dapat BI tetapkan pada era pelonggaran kebijakan moneter.
Di dalam kerangka berpikir BI, pemotongan suku bunga acuan akan menurunkan suku bunga deposito, yang selanjutnya akan menekan suku bunga pinjaman/kredit. Penurunan suku bunga kredit akan mengurangi biaya modal bagi perusahaan untuk berinvestasi. Putaran berikutnya, konsumsi dan aktivitas investasi akan meningkat. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak pada percepatan pemulihan ekonomi nasional (Putri, 2016). Namun, temuan dari Mandiri Research Institute (2021) menunjukkan bahwa rata-rata Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) perbankan pada bulan Januari 2020 hingga bulan Januari 2021 hanya menurun 78 basis points (bps). Sementara itu, BI telah menurunkan BI-7DRRR sebesar 125 bps. Akibatnya, spread SBDK terhadap BI7DRR menjadi semakin lebar, yakni dari 582 bps pada bulan Januari 2020 menjadi 628 bps pada bulan Januari 2021, meningkat 46 bps.
Berdasarkan kelompok bank, SBDK bank milik negara (BUMN) dan bank pembangunan daerah (BPD) merupakan kelompok bank yang mengalami penurunan SBDK terkecil, masing-masing menurun sebesar 69 dan 66 bps pada bulan Januari 2021. Penurunan tersebut lebih kecil dibandingkan penurunan SBDK kelompak bank swasta yang menurunkan SBDK sebesar 105 bps pada periode yang sama. Alhasil, meski suku bunga acuan turun, namun sektor riil tetap tidak bergerak karena suku bunga yang ditetapkan oleh perbankan cenderung bersikap lamban. Selain itu, upaya BI untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi menjadi tersendat akibat pelaku perbankan yang cenderung defensif dalam menurunkan suku bunga acuannya.
Penyebab Perbankan Lamban Menurunkan Suku Bunga
Secara teoritis, keputusan perbankan dalam menetapkan suku bunga dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti biaya transaksi, risiko inflasi, depresiasi, dan terutama karakteristik debitur (Kuncoro, 2017). Dalam teori Fisher, tingkat bunga riil adalah tingkat bunga nominal setelah dikurangi inflasi. Oleh sebab itu, bank cenderung memperhitungkan risiko inflasi untuk menjaga suku bunga riil yang dinikmati bank. Jika risiko inflasi semakin tinggi maka suku bunga nominal yang dikeluarkan bank menjadi tinggi.
Selanjutnya, karakteristik debitur dihitung dengan prinsip 5C (Character, Capacity, Capital, Condition, dan Collateral). Semua risiko ini ditanggung oleh debitur sebagai premi, yang menciptakan tingkat bunga tinggi untuk menghindari kredit macet. Dengan skema problematika ini, tidak mengherankan jika perbankan bersikap kaku dalam menurunkan suku bunganya. Hal ini semakin kompleks, ditambah dengan situasi di tengah pandemi tersebut yang membuat bank enggan memberikan kredit (credit crunch) karena adanya kekhawatiran gagal bayar dari debitur. Akibatnya, permasalahan tersebut semakin memperparah proses pemulihan ekonomi nasional.
Dari perspektif mikro, menurut penelitian yang dilakukan oleh Pujianti dan Sitorus (2016); Ratna Sri W dan Boedi Armanto (2013); dan Rizky Yudaruddin (2014) dengan menggunakan perhitungan nilai Herfindahl-Hirschman Index (HHI), terlihat bahwa struktur pasar perbankan Indonesia tergolong pasar oligopoli. Struktur pasar perbankan yang oligopolistik ini membuat bank-bank kecil mengambil keputusan berdasarkan bank-bank besar, mengingat di Indonesia bank-bank besar masih menjadi acuan bagi bank-bank kecil. Fleksibilitas perbankan Indonesia terhadap suku bunga acuan yang masih persisten membuat perbankan Indonesia kurang dinamis dalam menetapkan suku bunga.
Apa yang dapat dilakukan?
Dalam jangka pendek, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BI dapat berkoordinasi dengan bank-bank besar, seperti bank-bank BUMN untuk menurukan suku bunganya. Dengan demikian, hal ini akan membuat bank-bank skala kecil dan menengah untuk memacu suku bunga kreditnya. Kemudian, dari sisi makroekonomi, meskipun tingkat inflasi di Indonesia sudah cukup rendah sejak tahun 2020, namun BI harus tetap hati-hati dalam mengontrol besaran inflasi ke depannya. Hal ini dikarenakan jika ada ekspektasi inflasi meningkat maka perbankan mau tidak mau harus menaikkan suku bunganya lagi untuk menghindari pengurangan margin yang didapatnya.
Tidak lupa, BI dan OJK juga dapat memberikan credit guarantee pada perbankan atas nasabah-nasabah yang ingin mengajukan pembiayaanngan demikian, pihak perbankan pun dapat mengurangi biaya risiko di dalam prinsip 5C yang digunakan perbankan dalam menentukan besaran suku bunganya. Terakhir, dalam jangka panjang, dengan melihat struktur perbankan yang cenderung oligopolistik, untuk melakukan efisiensi perbankan, OJK perlu melakukan pengawasan yang ketat terhadap praktik dan aktivitas perbankan agar tidak mengakibatkan pelanggaran persaingan perbankan, seperti munculnya bank-bank yang memiliki posisi dominan.
Muhamad Rifki Fadilah
rifki@theindonesianinstitute.com