Stop Pekerja Anak sebagai Perlindungan terhadap Anak

lola-ameliaSetiap tanggal 12 Juni diperingati sebagai Hari Dunia Menentang Pekerja Anak Internasional (The International World Day against Child Labor). Peringatan setiap tahunnya ditandai dengan kampanye dalam berbagai bentuk dengan berbagai tujuan. Mulai dari kampanye agar terjaminnya pemenuhan hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh pekerja anak hingga kampanye agar praktek mempekerjakan anak dihentikan.

Dalam konteks kekinian, kampanye menentang pekerja anak masih relevan terus didengungkan. Hal ini karena secara global maupun di Indonesia sendiri, jumlah pekerja anak masih tinggi. Dalam konteks global, saat ini ada sekitar 168 juta anak-anak menjadi pekerja anak (ILO, 2014). Lebih dari setengahnya melakukan pekerjaan yang menempatkan kesehatan dan keselamatan mereka beresiko.

Untuk konteks Indonesia, per 2013 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan ada 4,7 juta jiwa pekerja anak. Paling banyak di Papua sebesar 34,7 persen dari total pekerja anak, kemudian Sulawesi Utara 20,46 persen dan Sulawesi Barat 19,82 persen.

Dilihat dari lokasi kerja, dari total jumlah itu, kisaran 1,1 juta anak bekerja di kawasan perkotaan dan lainnya, 2,3 juta pekerja anak di pedesaan. Dilihat dari jenis pekerjaan, umumnya mereka bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT), pekerja tambang, pekerja pabik, Anak Buah Kapal (ABK) dan sebagainya. Mayoritas dari jenis pekerjaan mereka menempatkan mereka bekerja dalam situasi yang buruk, beresiko terhadap kesehatan dan terabaikannya pemenuhan dan perlindungan mereka sebagai anak-anak maupun pekerja. Mereka dibayar dengan upah dibawah upah minimum regional (UMR), bekerja dalam jangka waktu yang lama, tidak mendapatkan asuransi dan lain sebagainya.
Tingginya angka pekerja anak ini diikuti pula dengan meningkatnya jumlah anak telantar dan anak jalanan. Komnas mencatat saat ini jumlah anak telantar mencapai 6,1 juta. Pada 2010 jumlahnya hanya mencapai 4,5 juta.

Terkait pekerja anak ini, Indonesia menargetkan bebas dari pekerja anak pada 2020. Ada berbagai program yang dilakukan. Sejak 2002 pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Rencana Aksi Nasional untuk Menghapus Pekerja Terburuk Anak (RAN-PK). Sebagian pihak menganggap RAN ini tidak berhasil karena faktanya hingga sekarang jumlah pekerja anak masih saja tinggi. Namun, bukan berarti RAN ini tidak penting. RAN ini harusnya bisa menjadi panduan untuk mengoperasionalisasikan tujuan RAN ini ke sektor-sektor terkait di tingkat pusat maupun daerah.

Kemudian, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) juga telah melakukan inisiasi terbentuknya Asosiasi Perusahaan Sahabat Anak Indonesia. Asosiasi ini terdiri dari sejumlah perusahaan yang membuat kampanye agar perusahaan tak lagi mempekerjakan anak. Namun saat ini asosiasi belum maksimal karena baru diisi oleh perusahaan-perusahaan besar. Padahal, pekerja anak banyak terdapat pada perusahaan kecil dan mikro.

Menyikapi hal ini, semua pihak memang harus mengambil peran. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak harus tegas menindak perusahaan yang masih mempekerjakan anak apalagi jika ditempatkan di pekerjaan dengan situasi terburuk.

Kelompok masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menaruh perhatian pada isu pekerja anak, terutama yang di daerah-daerah sebaiknya menjadi pendamping perusahaan dan juga pekerja anak, sambil mengedukasi mereka tentang berbagai kebijakan terkait.

Kampanye dari Pemerintah atau pun LSM terkait tentang pekerja anak harus lebih luas dilakukan. Harapannya agar masyarakat luas nantinya bisa proaktif melapor ke polisi dan mengawasi keadaan sekitar, khususnya terhadap perusahaan di lingkungan setempat yang masih mempekerjakan anak.

Hanya dengan kerja sama semua pihak, wacana menghapuskan pekerja terburuk anak di tahun 2020 nanti bisa terlaksana. Hal ini karena adanya masyarakat yang terdidik dan terorganisir adalah prasyarat utama agar sebuah kebijakan itu bisa diimplementasikan secara baik, tepat dan relevan.

 

( Lola Amelia, ameliaislola@gmail.com )

Komentar