Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Perppu MK) tidak henti-hentinya mengundang kontroversi. Sejak dirilis pada 17 Oktober 2013 lalu, Perppu yang dibentuk sebagai respon dari kasus suap yang menimpa Akil Mohtar, mantan Ketua MK yang juga pernah menjadi salah satu hakim konstitusi tersebut selalu mengundang pro dan kontra.
Pihak yang pro mengungkapkan bahwa Perppu ini sangat urgen bagi penyelamatan MK, sedangkan pihak kontra menegaskan bahwa Presiden telah kehilangan momentum untuk membentuk Perppu. Selain itu, secara substansial aturan hukum tersebut potensial mengundang banyak masalah.
Kontroversi tidak berhenti sampai disitu saja. Belakangan Denny Indrayana, Wamenkumham RI, mengungkapkan bahwa naskah Perppu yang diedarkan kepada wartawan belum ditandatangani oleh Menkumham RI, Amir Syamsudin. Hal tersebut berarti meskipun Perppu sudah disahkan oleh Presiden, tetapi naskah yang diedarkan Denny Indrayana adalah naskah yang belum diundangkan dalam lembaran negara.
Hal ini terungkap setelah naskah Perppu yang diterima oleh Wakil Ketua MK, Hamdan Zoelfa, berbeda dengan yang beredar di kalangan wartawan. Perbedaan signifikan adalah mengenai konsideran menimbang huruf c yang memuat frasa “akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim konstitusi”. Frasa tersebut terdapat dalam naskah yang diedarkan oleh Wamenkumham, namun tidak ditemukan dalam naskah yang diterima oleh Wakil Ketua MK.
Perppu merupakan salah satu instrumen hukum tertulis dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia. Salah satu unsur penting dari hukum tertulis adalah terdapatnya naskah tertulis resmi dari negara, naskah resmi tersebut hanya satu versi yang kemudian akan dijadikan pedoman bagi pelaksanaan substansi hukum tertulis tersebut.
Simpang siurnya naskah Perppu tersebut merupakan permasalahan yang semestinya tidak perlu timbul jika manajemen administrasi peraturan perundang-undangan yang dimiliki pemerintah berjalan baik. Selain itu, jika perumusan dan penyusunan Perppu dilaksanakan dengan baik dan semestinya, maka dualisme naskah terutama terkait konsideran juga tidak akan terjadi.
Namun, fakta berkata sebaliknya. Hal ini membuktikan ada kesalahan dalam administrasi peraturan perundang-undangan dalam tubuh pemerintah. Selain itu, mungkin saja Perppu ini dirumuskan dan disusun secara terburu-buru.
Untuk mengatasi masalah kesimpang-siuran ini, maka sebaiknya pemerintah segera mengklarifikasi naskah Perppu mana yang resmi dikeluarkan oleh pemerintah. Hingga tulisan ini dibuat naskah Perppu tersebut tidak bisa diakses dalam laman internet resmi milik Sekretariat Negara maupun Sekretariat Kabinet.
Di masa selanjutnya, rilis resmi suatu peraturan perundang-undangan sebaiknya menunggu naskah tersebut telah benar-benar diundangkan dalam lembaran negara. Dualisme naskah aturan hukum akan membuat bingung publik dan secara substansial akan menghilangkan makna kepastian regulasi yang semestinya terdapat dalam sistem hukum tertulis.
Asrul Ibrahim Nur – Research Associate The Indonesian Institute, Center for Public Policy and Research. asrul.ibrahimnur@gmail.com