Gembar gembor pengakuan tanah adat oleh negara sudah dimulai sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012 terkait penegasan bahwa tanah adat bukan lagi tanah negara melainkan milik masyarakat adat. Dampak dari putusan tersebut adalah dikeluarkannya Peraturan Kementeri Agraria dan Tata Ruang (Perka)/Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan masyarakat yang berada di kawasan tertentu.
Dikeluarkannya Perka sudah cukup lama dinantikan oleh masyarakat hukum adat mengingat perjalanan panjang yang terjal dan menguras energi dalam rangka menjaga tanah adat. Selain itu, pemberian sertifikat kepada masyarakat adat bukan sekedar pemenuhan hak kepemilikan tanah, namun juga perwujudan dari semakin kuatnya pengakuan sebagai masyarakat hukum adat dan pemenuhan hak atas wilayah adat.
Perka 9/2015 menjadi payung hukum yang memberi harapan bagi keberlangsungan hidup masyarakat hukum adat. Terlepas dari isi substansi Perka yang perlu dikritisi, Perka ini bisa memberikan jaminan investasi yang luar biasa dimana masyarakat hukum adat dapat hidup dan tinggal secara bersama (komunal) di atas tanah adat mereka. Di tahap awal, pemerintah telah berkomitmen memberikan sertifikat tanah adat di 14 kabupaten di Indonesia, dan sampai saat ini prosesnya masih berlangsung, tanah adat yang teridentifikasi menerima sertifikat diantaranya:
Pemberian sertifikat sebagai investasi sistemik masyarakat hukum adat sejalan dengan pendekatan community capitals yang dikemukakan oleh Jan dan Cornelia Flora (Agecon.unl.edu, 2015) Pendekatan ini menggarisbawahi pentingnya pengembangan suatu masyarakat dengan menganalisa kepemilikan modal (kapital) masyarakat dalam perspektif sistem. Ada tujuh modal yang disorot: manusia, sumber daya alam, budaya, sosial, ekonomi, politik, dan infrastruktur.
Mengapa Sertifikat Tanah Adat Menjadi Sebuah Investasi Sistemik?
Tanah adat bagi masyarakat hukum adat bukan sekedar modal alam dan modal ekonomi. Bagi mereka, tanah adat adalah roh yang menjiwai kehidupan mereka. Sebagai manusia mereka memiliki modal yang bisa diagungkan. Tanah adat tempat di mana mereka dilahirkan menciptakan ‘manusia sejati’ yang berkomitmen menjaga ekosistem lingkungan.
Dari tanah juga prinsip-prinsip hidup, etos kerja dan pengetahuan terbentuk dan tumbuh. Misalnya, dilarang mengambil hasil hutan di hutan larangan (sakral) atau diwajibkan menanam kembali pohon-pohon yang mereka kelola sesuai siklus. Mereka terbiasa bekerja keras mengelola segala sumber alam di atas tanah adat. Pengetahuan berdasarkan kearifan lokal yang terbentuk adalah juga modal budaya yang datangnya dari tanah adat.
Pranata sosial merupakan cermin keseimbangan hukum (adat) dengan alam dan interaksi secara sosial dengan sekitar termasuk pihak luar. Modal politik dan modal infrastruktur masyarakat hukum adat yang sederhana perlu dipahami dalam bentuk kesepakatan di antara anggota masyarakat adat dan di luar lingkungan adat untuk saling mempengaruhi, menjaga adat istiadat, dan eksistensi mereka.
Kepala adat dan perangkatnya adalah struktur yang juga memiliki fungsi menjadi garda terdepan menghadapi gangguan dari pihak luar yang berupaya mengambil alih tanah adat dan tatanan yang sudah terbentuk. Konflik pengambilalihan lahan adat yang sejak lama berlangsung melawan ekspansi korporasi telah mempertaruhkan banyak kepala adat dan para perangkatnya.
Pemberian sertifikat tanah adat yang dilakukan pemerintah bukanlah sekedar dimaknai sebagai simbolisme. Ini merupakan langkah awal yang cukup strategis untuk menjaga keberlanjutan masyarakat hukum adat di Indonesia, dan perlu didukung oleh semua pihak. Ke depan, investasi positif ini seharusnya bisa dinikmati, diantaranya semakin redanya konflik pengambilalihan lahan, serta menguatnya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat yang akan membawa harapan baru peningkatan taraf kesejateraan masyarakat hukum adat melalui pemanfaatan tanah adat sesuai tradisi.
Sebagai guru, masyarakat hukum adat akan semakin meningkatkan interaksinya dengan sekitar untuk mempengaruhi (secara politik) tentang ‘bagaimana menjaga ekosistem di atas tanah adat’ agar bumi menjadi semakin baik.
Yossa Nainggolan, Manager Penelitian dan Program The Indonesian Institute, yossa@theindonesianinstitute.com