Salah satu persoalan yang menarik dan sering kali diulas dalam perpolitikan Indonesia adalah mengenai tumbuh suburnya politik keluarga di Indonesia. Secara sederhana, politik keluarga didefinisikan jika terdapat dua atau lebih anggota keluarga yang menduduki jabatan politik (Purwaningsih, 2020). Jika mengacu pada definisi tersebut, maka Presiden Joko Widodo dapat dikategorikan sebagai politik keluarga saat ini. Pertama, Gibran Rakabuming, anak pertama dari Joko Widodo, yang saat ini menjabat sebagai Walikota Solo. Kedua, Bobby Nasution yang merupakan Walikota Medan saat ini adalah suami dari Kahiyang Ayu, anak kedua dari Joko Widodo. Artinya, dua anggota keluarga sudah terpenuhi dan dapat dikatakan sebagai politik keluarga. Ditambah lagi, terdapat wacana bahwa anak bungsu dari Joko Widodo, yaitu Kaesang Pangarep berencana untuk terjun ke dunia politik (Detik.com, 26/12/2023).
Tidak hanya politik keluarga Joko Widodo, dua kandidat yang masuk ke dalam bursa calon presiden potensial pun terindikasi politik keluarga, yaitu Puan Maharani yang merupakan anak dari Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang merupakan anak dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mantan Ketua Umum Partai Demokrat.
Dua nama ini dinilai menarik untuk dilihat jika mengacu dari hasil survei yang dikeluarkan oleh Algoritma Research and Consulting pada 23 Januari 2023, di mana resistensi dua tokoh tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan elektabilitasnya. Berikut grafik perbandingan elektabilitas dan resistensi Puan Maharani dan AHY berdasarkan hasil survei Algoritma Research and Consulting.
Grafik 1. Perbandingan Elektabilitas dan Resistensi Puan Maharani dan AHY
Sumber: Diolah berdasarkan Hasil Survei Algoritma Research and Consulting Tahun 2022.
Resistensi yang dimaksud dalam survei Algoritma Research and Consulting adalah kandidat calon presiden yang tidak akan dipilih pada Pemilihan Presiden tahun 2024 mendatang. Jika dikaitkan dengan politik keluarga, maka muncul asumsi bahwa resistensi kandidat calon presiden yang terindikasi politik keluarga dinilai cukup tinggi. Untuk itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat mengapa Puan Maharani dan AHY memiliki resistensi yang tinggi.
Alasan utama mengapa muncul politik keluarga di Indonesia adalah sistem rekrutmen politik yang buruk dan partai politik cenderung pragmatis dengan mengambil tokoh-tokoh yang memang sudah memiliki modal sosial dan kapital yang mumpuni. Artinya, esensi dari demokrasi yang menjadi pudar karena munculnya orang-orang yang secara tidak langsung memiliki “fast track” untuk mendapatkan jabatan politik. Padahal, publik menginginkan figur yang memang memiliki rekam jejak yang jelas, bukan hanya karena anak dari elit politik.
Upaya yang perlu untuk didorong dan dilakukan adalah dengan cara penguatan demokrasi di internal partai politik. Pun ada anggota keluarga yang memiliki popularitas serta modal sosial dan kapital yang mumpuni, tidak serta-merta langsung mendapatkan akses ke jabatan-jabatan politik. Oleh karena itu, perlu adanya tahapan dan proses yang jelas sehinga proses rekrutmen dan kaderisasi berjalan dengan baik.
Selain itu, pendidikan politik terhadap masyarakat Indonesia juga penting untuk menghilangkan politik keluarga di Indonesia. Publik perlu untuk melihat rekam jejak, program, serta visi dan misi kandidat dalam memilih calon pemimpin di Pemilu dan Pilkada Serentak tahun 2024 mendatang. Jangan sampai, pemimpin Indonesia yang terpilih kelak hanya berbekal modal finansial, popularitas dan ke garis keturunan semata.
Ahmad Hidayah – Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute