Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) baru-baru ini kembali terjadi pada sosok ibu rumah tangga yang berprofesi dokter umum bernama Qori Ulfiyah Ramayanti (37). Qori, saat ini ramai menjadi pembicaraan media sosial karena kabur dari rumah akibat KDRT yang dialaminya. Suami korban diketahui tidak memiliki pekerjaan tetap dan untuk mengisi kekosongan waktu, sang suami mengabadikan seluruh aktivitasnya dengan membuat konten kanal YouTube. Pada saat kejadian, korban juga tengah mengandung enam bulan. Pada kasus kekerasan lainnya, dugaan perkosaan yang dilakukan Bupati Maluku Tenggara, M Thaher Hanubun, terhadap seorang karyawati kafe juga cukup menyita perhatian publik. Kepolisian Daerah Maluku menyatakan tidak menghentikan kasus ini, meskipun pihak keluarga dan pelapor meminta agar laporannya dicabut (BBC News, 21/9/2023).
Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) agaknya sampai saat ini masih akan terus terjadi. Bentuk kekerasan pun tidak hanya berupa bentuk kekerasan fisik dan seksual tetapi juga dapat berupa bentuk pengabaian ekonomi. Dalam realitas kehidupan ekosistem masyarakat yang masih patriakis, pengabaian ekonomi tidak hanya berwujud dalam bentuk tidak dipenuhinya kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan), namun juga dapat berupa eksploitasi ekonomi.
Eksploitasi ekonomi pada perempuan adalah mendorong agar perempuan mampu secara optimal memenuhi kebutuhan dasar tidak hanya untuk dirinya sebagai perempuan, namun juga bagi anak-anak bahkan pasangannya. Lazimnya menurut masyarakat patriakis, peran ekonomi ini seharusnya dilekatkan kepada laki-laki, tetapi sebaliknya, hal tersebut justru menekankan perempuan sebagai pelaku penting dalam keberlangsungan roda perekonomian kehidupan keluarga tanpa adanya kontribusi yang sama dilakukan oleh pihak laki-laki. Padahal, laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang setara dalam upayanya untuk mengisi keberlangsungan hidup bersama.
Lebih lanjut, pada kasus KDRT yang dialami oleh Qori, kita dapat memahami bahwa kekerasan yang dialami korban dapat menjadi bentuk kekerasan yang berlapis, yaitu kekerasan yang dialami dengan beragam bentuk dan tingkatan. Hal ini disebabkan selain korban merupakan objek eksploitasi ekonomi juga ternyata memperoleh kekerasan fisik di saat hamil. Begitu pula kekerasan seksual yang dialami oleh karyawati kafe oleh salah satu pejabat negara. Kekerasan yang dialami oleh korban juga dinilai tidak hanya meliputi aspek seksual, namun juga sebagai manusia yang memiliki kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja menjadi seorang karyawati di sebuah kafe.
Berdasarkan kasus yang telah disebutkan, pada konteks relasi kuasa, meskipun perempuan berdaya secara ekonomi, namun hal ini tidak berarti dapat menjadikannya sebagai korban mampu mengambil keputusan secara mandiri dan memutuskan ketergantungannya terhadap jebakan penindasan. Ketidakmampuan korban KDRT dalam hal ini misalnya, diantaranya dipengaruhi oleh faktor keluarga. Misalnya, terkait keberadaan anak dan persepsi masyarakat terhadap pentingnya menjaga pernikahan.
Demikian pula dengan kasus perkosaan yang dialami oleh karyawati kafe di Maluku Tenggara, sulitnya memperoleh keadilan dinilai karena adanya ketimpangan kuasa. Pelaku yang merupakan seorang pejabat memiliki otoritas kuasa yang lebih tinggi dan jaringan pengaman dinilai akan lebih menguntungkan daripada korban. Dengan situasi yang demikian, korban cenderung sulit untuk memperoleh keadilan.
Untuk melindungi perempuan dari kerentanannya terhadap kekerasan, pemerintah telah membangun jaminan kepastian hukum melalui Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Nomor 23 Tahun 2004, serta Undang-undang Tindak Pencegahan Kekerasan Seksual (TPKS) Nomor 12 Tahun 2022. Namun demikian, pemerintah harus dapat membangun ekosistem masyarakat yang supportif. Pentingnya dukungan terhadap korban dalam mendorong pemenuhan hak-haknya, serta memutuskan keputusan terbaik dapat menjadi bagian penting dari sistem yang tentunya akan menjadikan korban mampu bangkit dari keterpurukan.