Proyeksi Bijaksana APBN 2017

Sehari sebelum perayaan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-71 atau tepatnya pada tanggal 16 Agustus 2016, Presiden Joko Widodo menyampaikan keterangan pemerintah atas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk Tahun Anggaran 2017 beserta Nota Keuangannya dalam sidang paripurna yang diadakan di gedung DPR RI, Jakarta.

Dalam pidatonya, Presiden terlihat cukup optimis untuk menyongsong tahun 2017 dengan kondisi perekonomian yang semakin stabil, meski belum sepenuhnya rapi. Di tahun mendatang tema kebijakan fiskal yang digadang oleh pemerintah adalah Pemantapan Pengelolaan Fiskal untuk Peningkatan Daya Saing dan Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan dan Berkeadilan.

Penetapan tema tersebut jelas memiliki semangat yang cukup optimis, akan tetapi penulis beranggapan bahwa Rancangan APBN 2017 masih terlihat realistis dan cukup bijaksana. Jika dibandingkan dengan kondisi serupa di postur APBN dua tahun terakhir, APBN 2017 memiliki proyeksi pertumbuhan ekonomi dan target penerima pajak utamanya yang dipatok tidak terlalu tinggi.

Di tahun 2017 perekonomian diasumsikan akan tumbuh secara moderat di angka 5,3 persen. Proyeksi yang tidak terlalu berlebihan ini dikonsiderasi oleh faktor dinamika global yang masih terlihat anomali, meskipun sudah terlihat beberapa perbaikan di beberapa negara, termasuk perekonomian Amerika serikat yang sudah mulai pulih dan perbaikan struktural di negara-negara emerging markets.

Selain itu pemerintah juga menilai bahwa dua belas paket kebijakan ekonomi yang sudah dikeluarkan beberapa waktu lalu akan mulai terlihat hasilnya di tahun 2017 sehingga mampu memberikan stimulus pada perekonomian. Sayangnya, bagi Penulis masih terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait paket kebijakan ini agar hasilnya signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), lembaga kajian ekonomi dan keuangan, mencatat setidaknya ada tiga kekurangan dari paket kebijakan ini. Pertama, paket yang dikeluarkan terlalu banyak dan memunculkan keraguan terhadap implementasinya. Kedua, paket kebijakan tidak fokus pada sektor tertentu, bahkan satu paket kebijakan saja bisa menyasar dua atau tiga sektor yang berbeda. Ketiga, fokus dari paket ini adalah deregulasi. Meskipun penulis nilai sangat baik pada akhirnya, namun investasi waktu yang diperlukan juga akan sangat lama.

Oleh karenanya, penting bagi para pemangku kepentingan untuk melihat kembali selusin paket yang sudah dikeluarkan. Perihal diseminasi dan harmonisasi regulasi nampak menjadi hal yang sangat krusial untuk mendapatkan perhatian lebih agar kebijakan yang digulirkan tidak hanya dipahami oleh segelintir orang, namun menyentuh kepada seluruh pihak berkepentingan.

Selain asumsi pada pertumbuhan ekonomi, hal yang patut diapresiasi pada RAPBN 2017 adalah penetapan penerimaan negara melalui skema perpajakan seperti yang selalu menjadi perhatian publik. Dikutip dari pidato yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada sidang paripurna penerimaan negara akan lebih memberikan kepastian dan momentum atas ruang gerak perekonomian. Di sisi penerimaan perpajakan, peningkatan dilakukan melalui berbagai terobosan kebijakan antara lain dengan mulai diimplementasikannya kebijakan amnesti pajak pada tahun 2016.

Kebijakan tersebut diharapkan dapat memperkuat fondasi bagi perluasan basis pajak dan sekaligus meningkatkan kepatuhan pembayar pajak di masa mendatang. Pemerintah juga akan melaksanakan program penegakan hukum di bidang perpajakan. Kebijakan perpajakan juga diarahkan untuk mendorong daya beli masyarakat, meningkatkan iklim investasi dan daya saing industri nasional melalui pemberian insentif fiskal untuk kegiatan ekonomi strategis, serta pengendalian konsumsi barang tertentu yang memiliki eksternalitas negatif.

Angka penerimaan yang ditetapkan pemerintah melalui perpajakan di tahun yang akan datang adalah Rp 1.495,9 triliun. Penetapan angka ini dinilai sangat realistis dengan mempertimbangkan segala dinamika ekonomi yang sedang berkembang. Asumsi ini kemudian juga banyak diapresiasi oleh berbagai kalangan. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) misalnya, menyatakan bahwa penetapan angka ini akan sangat menguntungkan sektor riil, terlebih di tengah ketidakpastian kondisi global.

Penetapan angka ini pun dipercaya juga akan menjauhkan drama ancaman “shortfall” atau target penerimaan negara yang jauh dari kenyataan akibat penetapan target yang terlalu tinggi atau tidak realistis yang selama dua tahun kebelakang selalu menghantui. Tentu kita semua berharap agar defisit dan rasio utang Indonesia dapat terkelola dengan baik dan hati-hati.

Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. reza@theindonesianinstitute.com

Komentar