Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa kemungkinan ada penundaan penerapan cukai plastik dan minuman berpemanis hingga tahun 2023 karena kondisi perekonomian ketika pandemi belum stabil. Sebelumnya, Kemenkeu berencana menambahkan objek cukai dengan menambah dua barang kena cukai (BKC) baru, yaitu plastik dan minuman bergula dalam kemasan. Target penerimaan cukai dari dua barang tersebut senilai Rp3,4 triliun (liputan6.com, 20/04/2022).
Tujuan pemerintah menerapkan cukai plastik adalah untuk menerapkan lingkungan yang lebih baik. Penerapan cukai plastik juga ditengarai oleh banyaknya sampah plastik. Indonesia merupakan negara penghasil sampah plastik laut terbesar kedua di dunia. Bahkan penelitian yang dilakukan UC Davis dan Universitas Hasanuddin di pasar Paotere Makassar menunjukkan bahwa dari 23 sampel ikan yang diambil mengandung plastik di perutnya.
Sedangkan tujuan penerapan cukai minuman berpemanis adalah untuk menambah penerimaan negara yang mencapai Rp6,25 triliun per tahun. Selain itu, cukai minuman berpemanis juga untuk menekan penyakit kronis seperti diabetes dan komplikasi yang diderita oleh masyarakat. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan tren prevalensi penyakit Diabetes Melitus di Indonesia meningkat dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen di tahun 2020 dan faktor risikonya seperti obesitas pada orang dewasa meningkat dari 14,8 persen menjadi 21,8 persen (kemenkes.go.id, 17/11/2020).
Cukai merupakan alat atau instrumen fiskal untuk mengendalikan konsumsi barang-barang yang memiliki eksternalitas bagi kesehatan, masyarakat, dan lingkungan. Cukai plastik tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai di mana sifat atau karakteristiknya perlu dikendalikan konsumsi serta pemakaiannya. Begitu pula minuman berpemanis.
Di sisi lain, terdapat sejumlah penolakan asosiasi pengusaha plastik tentang peraturan tersebut. Sebanyak 16 asosiasi industri menyuarakan penolakan penerapan cukai terhadap plastik dan tergabung dalam Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik (tempo.co, 10/07/2019). Hasil forum mengemukakan bahwa yang terpenting dalam pengendalian konsumsi sampah plastik adalah bukan pada penerapan cukainya, tetapi pada penerapan waste management-nya.
Demikian juga pada mayoritas asosiasi pengusaha makanan dan minuman yang menganggap bahwa penerapan cukai minuman berpemanis kemungkinan akan memukul mundur Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Akibatnya, bukan penerimaan negara yang didapat, namun kerugian.
Penerapan cukai terhadap plastik dan minuman berpemanis perlu dikaji lebih detail mengingat UMKM di Indonesia masih berjuang untuk bangkit akibat pandemi. Penerapan cukai juga menyebabkan kenaikan harga produksi hingga biaya logistik, sehingga akan menurunkan daya beli masyarakat.
Meningkatnya harga akibat cukai yang diterapkan juga kemungkinan besar menjadi penyumbang inflasi yang lebih tinggi. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan inflasi pada triwulan satu 2022 sudah menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2021, yaitu sebesar 3,47 persen (tahun ke tahun) dan didominasi pada kelompok industri makanan, minuman, dan tembakau (BPS, 2022).
Dalam hal ini, Kementerian Keuangan perlu mengkaji ulang tentang jenis-jenis plastik yang dikenakan cukai. Bersama Kementerian Industri, Kementerian Keuangan juga perlu mengadakan diskusi lanjutan dengan berbagai pihak, terutama asosiasi pengusaha minuman berkemasan dan para pemangku kepentingan terkait, agar kebijakan yang diberlakukan tidak merugikan berbagai pihak lewat dampak sampingan negatif yang ditimbulkan. Alih-alih akan menambah penerimaan negara, justru yang didapatkan adalah penurunan penerimaan, menghambat kebebasan ekonomi, serta pilihan masyarakat konsumen untuk mengkonsumsi.
Terkait dengan masalah kemasan minuman berpemanis, pengendalian sampah plastik dapat juga dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan melibatkan penelitian dan keterbukaan dalam inovasi yang dilakukan masyarakat tentang pemanfaatan limbah. Dapat juga berupa pengaplikasian ekonomi sirkular kepada industri plastik skala besar agara lifecycle plastik tidak bermuara ke laut. Sementara, terkait aspek bahaya kesehatan akibat minuman berpemanis, pemerintah dan pelaku industri, dan para pemangku kepentingan lainnya, juga perlu meningkatkan pendidikan tentang konsumsi bahan-bahan berpemanis, agar masyarakat memiliki pemahaman dan kesadaran yang lebih baik untuk mengkonsumsi dengan bijak, aman, dan sehat.
Nuri Resti Chayyani
Peneliti Bidang Ekonomi
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)