JAKARTA – Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2020 bakal tersaji pada 9 Desember yang tak lama lagi. Terlepas pro-kontra penyelenggaraannya di masa pandemi Covid-19, pesta demokrasi itu diwarnai dengan kentalnya politik dinasti. Pusat riset kebijakan publik, The Indonesian Institute (TII) menilai praktik politik yang mengandalkan kedekatan ikatan kekeluargaan ini dinilai membuat mampetnya sirkulasi kepemimpinan di daerah.
“Kekuasaan yang hanya dikuasai oleh satu kelompok berpotensi menyebabkan penyelewengan kekuasaan. Bentuk penyelewengan tersebut misalnya korupsi dalam pemerintahan daerah,” papar Manajer Riset dan Program TII Arfianto Purbolaksono kepada SINDOnews, Senin (23/11/2020).
Meski berpartisipasi dalam politik menjadi hak konstitusi setiap warga, politik dinasti terbukti rentan bermasalah. Menurut dia, hal itu berpotensi akan memengaruhi tata kelola pemerintahan, termasuk di tingkat daerah.
“Permasalahan tersebut tentu memengaruhi kinerja pemimpin daerah yang terpilih melalui Pilkada dalam menjalankan pembangunan daerah. Mengingat keterikatan pemimpin yang terpilih dengan beragam pemangku kepentingan serta relasi dan kepentingan yang berkelindan,” singgung dia.
Berdasarkan kajian TII, lanjut Anto, praktik politik dinasti pada Pilkada 2020 terlihat dari beberapa indikator. Pertama, banyak calon memiliki ikatan darah dengan pemimpin yang tengah berkuasa saat ini. Misalnya, status calon kepala daerah adalah seorang anak, adik maupun kakak.
Kedua, calon kepala daerah merupakan keluarga inti, misalnya istri. Beberapa alasan juga muncul dalam beragam literatur terkait politik dinasti di antaranya memiliki ikatan darah yang dianggap dapat dipercaya dan tak mungkin berkhianat.
Anto mengatakan, dinasti politik akan membahayakan bagi proses konsolidasi dan pembangunan demokrasi di tingkat lokal. Ia khawatir hal ini akan melemahkan partisipasi politik masyarakat dalam mengawasi dan mengkritisi proses pembangunan di daerah tersebut. Belum lagi beragam korupsi yang rentan terjadi di bawah payung dinasti politik yang terbukti telah terjadi selama ini.
Sebagai informasi, temuan Nagara Institute menunjukkan terdapat 124 kandidat yang terafiliasi dengan dinasti politik dan maju sebagai calon kepala daerah. Mereka terdiri dari 57 calon bupati dan 30 calon wakil bupati, 20 calon wali kota dan 8 calon wakil wali kota, 5 calon gubernur dan 4 calon wakil gubernur.
Bila diklasifikasikan berdasarkan gender, jumlah itu terdiri dari 67 laki-laki dan 57 perempuan. Dari 57 perempuan tersebut terdapat 29 kandidat perempuan yang merupakan istri dari kepala daerah petahana.
“124 kandidat dinasti politik tersebar merata di 270 daerah pemilihan,” ujar Direktur Nagara Institute Akbar Faisal melalui siaran pers yang diperoleh SINDOnews, Senin (12/10) lalu.
Jika dilihat dari sebarannya, Sulawesi Selatan menjadi daerah yang jumlah kandidat dinasti politik terbanyak dengan jumlah 12 orang. Disusul Sulawesi Utara, yakni 11 orang yang tersebar di satu provinsi pemilihan, 4 kabupaten pemilihan, dan 3 kota pemilihan.
Adapun daerah rawan dinasti politik terbesar ketiga dan keempat berada di Pulau Jawa, yakni Jawa Tengah sebanyak 10 kandidat yang tersebar di 7 kabupaten pemilihan dan 2 kota pemilihan. Kemudian, Jawa Timur yakni sebanyak 9 orang yang tersebar di 7 kabupaten pemilihan dan 2 kota pemilihan.