Kedatangan bulan Ramadhan di dalam negeri selalu dihantui oleh merangkaknya harga-harga barang kebutuhan pokok. Laporan kompas (06/06/2016) menyebutkan bahwa harga gula pasir yang sebelumnya berkisar Rp.12.000 saat ini naik menjadi Rp.18.000. Begitupun dengan komoditas bawang dan daging sapi yang kenaikannya terlihat cukup signifikan dan bervariasi.
Dalam ilmu ekonomi, kondisi yang demikian disebut dengan inflasi atau naiknya harga barang secara umum dan dalam suatu periode waktu. Inflasi yang terjadi di perayaan hari-hari besar seperti bulan Ramadhan ini biasanya disebabkan oleh dua faktor dalam keseimbangan harga di pasar, yakni akibat tarikan permintaan yang tinggi dan juga ulah dorongan biaya yang ikut meningkat.
Jika diturunkan secara lebih komprehensif, sebenarnya banyak sekali faktor yang menyebabkan inflasi selama bulan Ramadhan ini, salah satunya adalah masalah pada rantai pasok yang tidak kunjung selesai hingga saat ini. Pasokan yang ada di pasar seringkali tidak sesuai dengan jumlah permintaan yang dibutuhkan oleh konsumen tingkat akhir.
Harian Bisnis Indonesia (19/06/2016) mencatat bahwa profil pasar barang kebutuhan pokok di Indonesia bukanlah pasar yang dikendalikan oleh produsen utama, melainkan oleh distributor, tengkulak, dan pedagang perantara. Dengan demikian rasanya justifikasi jika petani atau peternak yang merupakan penikmat kenaikan harga adalah hal yang tidak tepat. Mereka justru ikut merasakan kesengsaraan jika harga-harga yang ada di pasar juga ikut melambung tinggi.
Inilah yang kemudian menjadi pokok permasalahan yang perlu dicarikan jalan keluarnya. Tanpa upaya langsung yang konkret, isu kenaikan harga akan terus menghantui pasar domestik di perayaan hari-hari besar. Pemerintah melalui rapat koordinasi lintas kementerian sebenarnya sudah paham akan isu ini dan mencoba melakukan koordinasi yang konkret dalam meredam harga barang kebutuhan pokok di pasar domestik.
Dalam rapat tersebut terlihat bahwa tidak hanya Kementerian Pertanian dan Perdagangan saja yang terlibat, melainkan pula ada Kementerian Perindustrian, Kemeterian BUMN dan Kementerian Koperasi dan UMKM (Kompas, 11/06/2016).
Masalah rantai pasok memang benar bukan hanya pada masalah perdagangan saja, melainkan masalah kompleks yang beririsan dengan tupoksi kementerian lainnya. Meskipun baru memerlukan proses yang panjang dan mungkin manfaat yang dapat dipetik tidak dalam waktu yang cepat, tetapi penulis meyakini bahwa kegiatan ini merupakan langkah konkret dan outputnya mampu menjawab permasalahan kenaikan harga barang, terutama di musim-musim tertentu.
Selain masalah pada rantai pasok, masalah impor dari negara lain juga masih menjadi hal yang cukup dilematis untuk ditempuh oleh pemerintah agar harga barang kebutuhan pokok kembali menuju keseimbangan normal. Kebijakan penurunan harga melalui skema impor memang terlihat cukup memusingkan karena di saat yang bersamaan banyak yang menilai bahwa petani lokal akan dirugikan.
Namun, bagi penulis, jika kita kembali pada konteks yang ada, lagi-lagi kenaikan harga yang terjadi di pasar barang kebutuhan pokok lebih menguntungkan distributor, tengkulak, dan pedagang perantara. Petani dan peternak yang notabene adalah masyarakat kecil tidak mendapatkan porsi keuntungan dengan situasi ini karena para tengkulak membeli hasil tani mereka dengan harga normal tanpa ada kenaikan sama sekali.
Dengan adanya kenaikan harga pangan justru akan berdampak pada kesejahteraan keluarga mereka. Petani dibuat tidak punya pilihan untuk memasarkan produknya langsung ke tangan konsumen. Banyak sekali faktor yang menyebabkan hal tersebut, seperti informasi yang tidak simetris serta teknologi yang tepat guna.
Jadi dengan ini penulis sepakat dengan apa yang dilakukan Kementerian Perdagangan untuk mengimpor beberapa barang kebutuhan pokok selama musim Ramadhan. Kebijakan ini dirasa tepat untuk melengkapi kebijakan penyederhanaan rantai pasok yang saat ini sedang dikerjakan dalam jangka pendek.
Impor tidak melulu soal menggadaikan kedaulatan negara. Ada aspek-aspek lainnya yang apabila dicermati lebih jauh justru menguntukan kita sebagai bangsa Indonesia. Kita justru dapat membantu masyarakat yang berstatus miskin dan mendekati miskin untuk tetap dapat membeli barang-barang kebutuhan pokok.
Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. reza@theindonesianinstitute.com