Masa pra-peradilan untuk para aktivis yang dituduh sebagai dalang kerusuhan demonstrasi Agustus 2025 telah dimulai sejak 13 Oktober lalu. Sejak tulisan ini dibuat (18/10), pra-peradilan sudah diselenggarakan untuk Delpedro Marhaen, Syahdan Husein, Khariq Anhar, dan Muzaffar Salim. Namun, pihak termohon sidang pra-peradilan, yaitu pihak kepolisian, tidak menghadiri sidang ini. Ketidakhadiran tersebut berimbas pada penundaan keadilan untuk para pemohon. Sembari dalam masa penahanan, para aktivis seperti Delpedro, Muhammad Fakhrurrozi, Syahdan, Khariq, serta pelajar sekolah menengah atas yang ikut ditahan yaitu Farhan Indra Setiawan, menuliskan surat dari dalam tahanan (rri.co.id, 31/8/2025; konde.co, 2/10/2025; Social Movement Institute, 15/10/2025; tempo.co, 17/10/2025). Berbekal kertas dan alat tulis, surat-surat ini menyampaikan yang pada intinya situasinya di dalam tahanan, proses penahanan yang tidak berdasarkan “due process of law”, kekecewaan terhadap sistem penegakan hukum yang tidak lagi merefleksikan demokrasi dan “rule of law”.
Surat-surat dari tahanan yang ditangkap karena menyuarakan pendapatnya mengingatkan ktia semua pada literatur-literatur dan sejarah di mana saat dulu memperjuangkan Reformasi, para tahanan juga menyuarakan keresahannya lewat sepucuk surat. Namun, perbedaannya kali ini adalah, surat yang datang berasal dari generasi muda. Generasi yang dahulu masa depannya diperjuangkan oleh para pendahulunya di masa Reformasi untuk bisa menikmati kebebasan dan pemenuhan hak asasi manusia. Justru, generasi ini bergantian merasakan yang dialami pendahulunya.
Terlihat bahwa pola-pola penegakan hukum seperti penyitaan buku, kesalahan tangkap, dugaan pemaksaan pengakuan, dan penangkapan masyarakat sipil yang menyuarakan pendapatnya di media sosial memaksa kita untuk merefleksikan kembali situasi negara. Apakah hanya sejauh ini Reformasi bisa berjalan sejak 1998? Atau masih ada harapan untuk demokrasi kita?
Saat ini banyak kalangan yang menyuarakan solidaritas untuk para tahanan demonstrasi Agustus 2025. Dari kalangan publik pada umumnya, akademisi, hingga selebriti ikut menyuarakan kekhawatirannya. Salah satu penyanyi yang dikenal luas sebagai penyanyi dari Band Hindia, Daniel Baskara Putra, juga menunjukkan solidaritasnya lewat surat yang ia buat sendiri juga.
Dari kalangan seniman seperti Terra Bajraghosa dan penulis seperti Okky Madasari juga ikut secara sukarela menjadikan dirinya bagian dari para penjamin dari Fakhrurozzi (Social Movement Institute, 3/10/2025). Solidaritas di ruang sidang juga berjalan, dimana ajakan untuk publik hadir di ruang sidang banyak dilakukan. Di tempat yang lainnya, akademisi juga aktif menyampaikan masukan-masukan yang perlu dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pemerintah untuk bisa mengembalikan Indonesia kembali ke jalur demokrasi yang seharusnya.
Masih ada harapan untuk Indonesia kembali menjadi negara yang mengedepankan demokrasi dan hak asasi manusia warganya. Terdapat dua kunci untuk menggiring ini kembali, pertama, media sosial. Media sosial telah membantu warga mengetahui segala hal yang terjadi di Indonesia. Termasuk pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pada demonstran-demonstran yang ditahan. Keterbukaan informasi akan hal yang terjadi di sekitar membuat negara harus ikut terbuka juga dalam melaksanakan penegakan hukum. Dengan demikian, hak digital menjadi penting.
Dalam laju informasi yang sangat cepat di media sosial, hak digital warga perlu dijamin. Yang artinya tidak boleh ada pembukaan data-data pribadi untuk orang-orang yang menyuarakan kritiknya. Begitu pula perlindungan dari kriminalisasi terhadap kritik serta teror yang dilakukan oleh anonim atau yang mengatasnamakan instansi pemerintahan. Kebebasan berpendapat dan informasi yang saat ini banyak mengandalkan media sosial perlu dilindungi.
Kedua, langkah-langkah yang lebih mengedepankan hukum oleh kepolisian harus dilakukan. Penahanan demonstran dengan tuduhan sebagai pembuat onar bahkan pelaku kekerasan tanpa bukti yang mumpuni tidak mencerminkan “due process of law”. Proses hukum perlu segera didesak untuk dihentikan dengan alasan demi hukum. Desakan ini juga harus didorong oleh pemangku kebijakan terkait, serta lembaga perwakilan rakyat yang notabene bertanggung jawab memperjuangkan aspirasi rakyat dan melakukan fungsi pengawasan.
Semakin diteruskannya proses hukum terhadap para demonstran justru semakin menunjukkan sikap anti-kritik dari negara dalam menanggapi suara publik.
Demokrasi tidak perlu selalu di ujung tanduk jika semua pihak mau terlibat untuk konsisten menjaganya. Tidak hanya negara yang harus memahami kewajibannya untuk menjaga HAM dan menjalankan negara melalui proses yang demokratis, tetapi warga juga harus mengambil peran.
Pengetahuan mengenai hak-haknya sebagai warga negara adalah langkah pertama dalam menjaga demokrasi dan HAM. Berikutnya, adalah sama-sama menjaga sesama warga sipil dalam jalannya masing-masing untuk mempertahankan demokrasi. Pengetahuan adalah senjata paling utama untuk menjaga kebaikan. Selanjutnya adalah bagaimana kita sebagai individu bisa memanfaatkan pengetahuan ini dan bergerak dengan cara kita masing-masing.
Christina Clarissa Intania
Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute
christina@theindonesianinstitute.com
The Indonesian Institute Center For Public Policy Research