Fenomena terkait dengan perusahaan tekstil yang gulung tikar belakangan mencuat dan menjadi perdebatan. Terlebih sedikitnya ada 9 perusahaan tekstil yang tumbang.
Beberapa pihak menuding bahwa banjirnya impor tekstil dan produk tekstil (TPT) menyebabkan industri tekstil dalam negeri menjadi lesu. Akibatnya, TPT lokal tidak bisa terserap pasar dalam negeri karena tidak memiliki daya saing jika dibandingkan produk impor.
Menanggapi hal tersebut, Peneliti bidang Ekonomi The Indonesian Institute, M. Rifki Fadilah, mengungkapkan jangan terlalu terburu-buru untuk menuding kebijakan impor yang mengakibatkan kalahnya produk Indonesia di pasar.
“Saya rasa, kita jangan cepat menuding impor yang membuat produk kita tidak laku. Padahal kita seharusnya merefleksikan diri kenapa produk kita bisa tidak laku di pasaran dan kenapa produk impor lebih disenangi,” ungkapnya di Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Dirinya juga menjelaskan bahwa secara statistik pertumbuhan industri manufaktur mikro dan kecil terus membaik. Lebih lanjut dirinya mengatakan dalam dua tahun terakhir perkembangan industri TPT terus membaik di pasar domestik maupun global.
Hal ini didasarkan pada laju pertumbuhan sampai dengan triwulan IV 2018 yang naik sebesar 8,73 persen serta peningkatan ekspor sebesar 5,55 persen.
“Kalau dari data, justru industri tekstil kita kan lagi naik daun ya, ditambah pemerintah saat ini juga sedang menjadikan industri tekstil sebagai industri strategis dan prioritas nasional,”beber Rifki.
Rifki menilai kasus tutupnya sembilan perusahaan tekstil ini harus dilihat secara lebih dalam. Mengingat dari ribuan perusahaan tekstil di Indonesia hanya sembilan perusahaan ini yang gulung tikar.
Sementara Rifki mengingatkan inilah akibat jika perusahaan tidak mampu mengalokasikan sumber daya input produksinya secara efisien. Buntut panjangnya, biaya marginal produksinya membengkak sedangkan pendapatan marginalnya tidak mampu menutup besaran besarnya biaya marginal produksinya.
Akibatnya perusahaan menaikkan harga jual, sedangkan di pasar banyak produk serupa yang ditawarkan dengan harga yang jauh lebih murah.
“Tutupnya sembilan perusahaan ini harus dijadikan pelajaran bagi perusahaan lain, jika perusahaan tidak bisa mengalokasikan input produksinya dengan efisien. Alhasil biaya marginal produksinya jauh lebih besar dibandingkan pendapatan marginalnya. Akhirnya, perusahaan harus jual produk lebih mahal untuk mengongkosi biaya produksi, sedangkan di pasar ada banyak produksi serupa yang harganya jauh lebih murah, konsumen secara rasional pasti akan memilih produk yang lebih murah, akibatnya produknya tidak laku, ujungnya perusahaan rugi, daripada rugi terus lebih baik keluar dari pasar, tidak ada jalan lain,” papar Rifki.
Ke depan pelaku industri tekstil di tanah air untuk lebih bersikap hati-hati dan mengedepankan efisiensi. Sebagai industri yang sudah diliberaliasi tahun sehat tahun 2005 lalu, maka konsekuensi yang harus ditanggung industri tepat adalah kompetisi yang semakin ketat.
Sumber: Akurat.co