Salah satu persoalan utama kita hari ini ialah rendahnya party-identification (party-ID) di Indonesia. Party-ID merupakan derajat kedekatan warga dengan partai yang diyakininya untuk dipilih saat pemilu dilaksanakan. Survei yang dilaksanakan oleh Saiful Mujani Research Center (SMRC) pada bulan Desember 2017 lalu, menyebutkan bahwa tingkat kedekatan warga Indonesia dengan partai yang diyakininya hanya sebesar 11,7 persen. Dalam studi komparatif dunia, hasil survei tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat party identification yang paling rendah di dunia (kbr.id, 03/01).
Rendahnya party-ID di Indonesia selama ini hanya dipandang sebelah mata sebagai persoalan demokrasi kita. Padahal jika dikaji lebih jauh, rendahnya party-ID tersebut menjadi pangkal masalah turunan lainnya. Ada beberapa persoalan serius yang penyebabnya ialah dikarenakan rendahnya party-ID di Indonesia.
Pertama, rendahnya party-ID membuat biaya politik tinggi. Seperti yang terjadi di banyak negara, tingginya rasa memiliki atas partai tertentu mendorong warga berkontribusi kepada kemenangan partai melalui mekanisme kesukarelaan dari mereka sendiri. Warga bergotong-royong iuran finasial, memobilisasi suara, dan aktivitas dukungan lainnya yang berasal dari inisiatif mereka sendiri. Hal ini dikarenakan tingkat kepemilikan mereka (sense of belonging) mereka terhadap partai yang mereka yakini tinggi.
Di Indonesia, praktik voluntarisme politik yang berasal murni dari inisiatif warga untuk memenangkan partai tertentu nampaknya belum membudaya. Dalam konteks pemilu legislatif, caleg lah yang selama ini bekerja ekstra untuk mencari pemilih. Salah satu yang sering dilakukan oleh caleg ialah dengan cara membeli suara pemilih. Dalam studi yang dilakukan oleh Burhanuddin Muhtadi (2018), praktik jual-beli suara (money politics) di Indonesia sangat besar. Pada Pemilu 2014 yang lalu, Muhtadi menemukan sebanyak 33 persen dari total pemilih yang ada mengaku pernah ditawari suap untuk memilih caleg tertentu. Artinya dari 187 pemilih, maka hampir 62 juta orang menjadi target praktik jual-beli suara. Besarnya praktik money politics di Indonesia, menempatkan Indonesia sebagai negara terbesar ketiga setelah Uganda dan Benin (theconversation.com, 2018).
Jika diasumsikan 62 juta pemilih tersebut hanya menerima uang dari satu caleg tertentu dengan rata-rata pemberian uang sebesar Rp 30.000, maka dapat dikatakan uang yang beredar dalam praktik jual-beli suara sebesar Rp 1.86 triliun. Sudah barang tentu, praktik politik merugikan kedua belah pihak. Di satu sisi, caleg harus mengeluarkan modalnya besar-besaran, di sisi lain, praktik money politics tidak mencerdaskan publik.
Kedua, rendahnya party-ID secara tidak langsung menyebabkan korupsi terjadi. Melanjutkan bahasan sebelumnya bahwa rendahnya party-ID menyebabkan biaya politik tinggi, maka partai harus mencari modal dari berbagai sumber. Salah satunya ialah dengan cara mengeksploitasi lembaga legislatif dan eksekutif melalui kader-kadernya di sana. Mereka mendorong agar negara memberikan subsidi kepada partai politik. Suatu ketika pada tahun 2005, subsidi negara terhadap partai politik dipotong, yang terjadi praktik korupsi anggota parlemen meningkat (Mietzner, 2007).
Ketiga, rendahnya Party-ID semakin melanggengkan kepemilikan partai hanya dikuasai oleh kelompok tertentu. Hal ini dikarenakan publik tidak dapat atau ekstrimnya tidak berkenan mengontrol partai politik karena rendahnya rasa kepemilikan mereka terhadap partai politik tersebut. Akibatnya, seringkali kebijakan yang dikeluarkan oleh partai tidak selaras dengan kepentingan pemilihnya.
Menyudahi Defisit Party-ID
Dari paparan di atas, rendahnya party-ID dapat dikatakan sebagai pangkal persoalan dari berbagai persoalan politik yang ada. Oleh karena itu, perlu upaya serius untuk meningkatkan party-ID kita. Seperti yang diusulkan oleh Muhtadi, sistem pemilihan legislatif kita ada baiknya untuk dipertimbangkan dikembalikan ke sistem proposional tertutup.
Sistem proposional tertutup dapat mengalihkan fanatisme pemilih terhadap caleg tertentu ke partai yang bersangkutan. Selain itu, partai politik juga harus mencari faktor pembeda yang dijalankan secara konsisten agar masyarakat mudah mengidentifikasi dirinya terhadap partai tersebut. Tidak kalah penting ialah meningkatkan pendidikan politik terhadap publik.
Fadel Basrianto, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute,