Perkembangan teknologi berbasis internet telah berpengaruh terhadap berbagai aspek, termasuk dalam konteks kepemiluan. Saat ini, penyelenggara pemilu di Indonesia sudah menggunakan teknologi untuk memudahkan kerja kepemiluan serta sebagai upaya untuk menciptakan pemilu yang berintegritas. Sebagai contoh, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah membuat Sirekap (sistem informasi rekapitulasi) sebagai aplikasi yang memudahkan KPU dalam mempublikasikan rekapitulasi hasil penghitungan suara. Selain itu, ada pula Sipol (sistem informasi partai politik) sebagai aplikasi yang memudahkan pendaftaran dan verifikasi partai politik secara digital. Tidak hanya itu saja, terdapat sejumlah aplikasi lain seperti Sidalih (Sistem informasi data pemilih), Sidapil (sistem informasi daerah pemilihan), Silog (sistem informasi logistik), Sikum (sistem informasi penyelesaian kasus hukum), dan Sidakam (Sistem informasi dana kampanye).
Tidak hanya KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga telah menggunakan teknologi sebagai upaya untuk meningkatkan pengawasan, yaitu Sistem Pengawasan Pemilu (Siwaslu) dan Aplikasi Laporan Pelanggaran Pemilu (Gowaslu). Siwaslu digunakan oleh pengawas pemilu di lapangan dalam melaporkan kerja pengawasan pada hari pemungutan dan penghitungan suara. Apabila pengawas menemukan adanya indikasi pelanggaran, pengawas dapat langsung meng-“input” dalam aplikasi Siwaslu. Berbeda dengan Siwaslu yang diperuntukan bagi pengawas pemilu, aplikasi Gowaslu diperuntukan bagi publik yang menemukan adanya indikasi pelanggaran pemilu. Dengan penggunaan teknologi melalui kedua aplikasi ini, membuat proses pelaporan pelanggaran menjadi lebih cepat sehingga pengawas pemilu dapat menindaklanjuti temuan dan dugaan pelanggaran tersebut.
Namun, berdasarkan pengalaman di Pemilu tahun 2019 dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020, aplikasi Gowaslu dirasa belum cukup untuk mengawasi pelanggaran pemilu di ranah media sosial. Untuk itu, diperlukan aplikasi khusus yang melibatkan partisipasi publik layaknya Gowaslu, namun berfokus pada pengawasan media sosial. Jika publik mendapati adanya pelanggaran di media sosial, publik dapat melakukan tanggakapan layar (screenshot) dan mengunggah di aplikasi tersebut. Pelanggaran-pelanggaran ini nantinya akan ditindaklanjuti oleh Bawaslu.
Dalam menerapkan aplikasi tersebut, tantangan yang akan dihadapi Bawaslu adalah memastikan kualitas dan kebenaran dari pelaporan. Pasalnya, tidak semua orang yang melaporkan kasus pelanggaran pemilu adalah masyarakat yang terlatih untuk melakukan pengawasan Pemilu. Oleh karena itu, untuk menguji kualitas kebenaran dari sebuah informasi bisa diuji melalui kuantitas dari informasi itu sendiri. Hal ini mengacu pada prinsip dari aplikasi ini adalah pengawasan dengan menggunakan sumber terbuka (open source) yang terdiri dari banyak mata, maka untuk menguji sebuah kebenaran informasi bisa melalui dari kuantitas informasi yang melaporkan kasus yang sama dan didaerah yang sama. Artinya, apakah ada laporan serupa yang menguatkan laporan awal. Selanjutnya, untuk menguji kualitas juga bisa ditekankan apakah data yang didapat berdasarkan pengamatan langsung dengan kata lain data dari tangan pertama (first hand data). Semua prasyarakat dari kualitas pelaporan bisa langsung dienskripsi melalui kode, sehingga bentuk, sifat, dan jenis data langsung terklaster berdasarkan grup data informasinya (Surbakti & Fitrianto, 2015).
Guna merealisasikan aplikasi pengawasan media sosial, terdapat sejumlah hal yang perlu untuk dilakukan. Pertama, menyiapkan tenaga ahli teknologi informasi (TI). Guna menciptakan aplikasi yang berkualitas, maka sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas juga perlu untuk dipersiapkan. Tidak hanya pada proses menciptakan aplikasi, tenaga ahli TI juga berfungsi untuk pemeliharan aplikasi secara berkala. Sehingga, aplikasi ini benar-benar berkualitas serta dapat dengan mudah diakses oleh publik.
Kedua, ketersediaan anggaran. Saat ini, penyelenggara pemilu sedang melakukan pembahasan anggaran pemilu bersama dengan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Untuk itu, penting bagi Bawaslu untuk memasukan anggaran terkait pembangunan aplikasi pengawasan media sosial.
Ketiga, sosialisasi secara masif. Pada dasarnya, prinsip dari aplikasi pengawasan media sosial adalah pelibatan masyarakat atau yang disebut dengan crowdsourcing. Artinya, aplikasi ini tidak bisa berjalan jika publik tidak mengetahui adanya aplikasi ini. Oleh karena itu, Bawaslu perlu secara gencar memperkenalkan aplikasi tersebut kepada publik.
Hal terpenting dari adanya aplikasi pengawasan media sosial adalah bagaimana memberikan pemahaman kepada masyarakat secara luas bahwa kerja pengawasan bukan hanya kerja Bawaslu, namun juga menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat. Berangkat dari pemahaman tersebut, diharapkan dapat meminimalisir pelanggaran-pelanggaran pemilu, khususnya di media sosial.
Ahmad Hidayah
Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute
ahmad@theindonesianinstitute.com