Seiring pesatnya perkembangan peradaban dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat, di negara atau kota-kota besar, telah muncul masalah penyediaan lahan bagi aktivitas-aktivitas tersebut. Untuk mengatasi hal itu maka menurut teori perencanaan kota diperlukan pemekeran wilayah.
Alternative pertama melakukan pemekaran ke daratan atau pemekaran secara vertikal yakni dengan mendirikan gedung-gedung pencakar langit dan rumah-rumah susun. Apabila pemekaran ke daratan ini sudah tidak dimungkinkan lagi disebabkan keterbatasan lahan maka dapat dilakukan alternativ kedua yakni reklamasi. Reklamasi merupakan proses pembentukan lahan baru di pesisir atau bantaran sungai.
Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) misalnya, reklamasi barangkali bukanlah hal baru. Kurang lebih sejak tahun 1980an, DKI Jakarta telah melakukan reklamasi pada lahan yang dipandang berkualitas rendah dan kurang produktif yakni Pantai Utara Jakarta (Pantura). Tujuannya meningkatkan manfaat ekonomi dan sosial serta pengembangan wilayah.
Menurut catatan pemberitaan Kompas, pada Tahun 1981 PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai Pluit selebar 400 meter dengan penimbunan untuk membangun permukiman mewah Pantai Mutiara. Kemudian pada tahun yang sama PT Pembangunan Jaya melakukan reklmasi kawasan Ancol untuk kawasan industri dan rekreasi. Sepuluh tahun kemudian reklamasi hutan bakau kapuk untuk kawasan permukinan mewah Pantai Indah Kapuk. Tahun 1995 reklamasi untuk kawasan industri yakni Kawasan Berikat Marunda (Kompas.com, 4/ 04/16).
Proyek reklamasi Pantura sejak awal ternyata telah menimbulkan pro kontra dikalangan masyarakat dan tarik ulur kebijakan pada level pemerintahan. Wacana reklamasi Pantura kembali diperdebatkan setidaknya selama satu dasawarsa terakhir dan menguat hingga hari ini. Perdebatan yang berkembang di berbagai media setidaknya meliputi berapa hal, pertama reklamasi dibayangi kasus suap. Kedua reklamasi berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Ketiga, gugatan hukum para nelayan bahwa reklamasi hanya akan menguntungkan para pengembang. Keempat tumpang tindih dasar hukum reklamasi.
Akhir Oktober 2015, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan mulai mempersiapkan tahap awal pengembangan pulau-pulau reklamasi yakni Pulau O, P, dan Q yang akan diintegrasikan dengan pulau N untuk pembangunan Port of Jakarta (Kompas.com, 4/04/16). Namun proyek reklamasi tersebut dihentikan sementara oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti karena Pengembang belum melengkapi izin.
Dalam konferensi pers (15/04/16) Menteri Susi menjelaskan alasannya mengehentikan proyek reklamasi yang diputuskan bersama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Alasan tersebut meliputi, pertama, Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan izin reklamasi berdasarkan Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995 (Keppres No. 52/1995) sementara aturan reklamasi nasional baru muncul setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No. 27/2007).
Kedua, reklamasi dilakukan tanpa adanya kajian dan rekomendasi kementerian dalam hal ini rekomendasi KKP terkait kawasan strategis nasional tertentu yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 122 Tahun 2012 (Perpres No. 122/2012). Juga rekomendasi KLH berkaitan dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Ketiga, reklamasi dilakukan tanpa adanya peraturan daerah tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecill (RZWP3K). Selanjutnya KKP dan KLH akan mengeluarkan Keputusan Menteri No. 301 Tahun 2016 untuk melakukan kajian dan pengawasan reklamasi pantura (Tempo.Co, 15/04/16).
Di satu sisi memang KKP dan KLH memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi, izin dan lain sebagainya. Namun di sisi lain Gubernur DKI Jakarta juga memiliki kewenangan menurut Keppres No. 52/1995 yang belum dicabut selama ini. Meskipun banyak pandangan bahwa Keppres tersebut sudah kuno dan peraturan perundang-undangan lain telah banyak berubah. Akan tetapi kewenangan tersebut belum dicabut artinya kewenangan Gubernur DKI Jakarta untuk memberikan izin reklamasi tidak hilang.
Dengan demikian, Gubernur DKI Jakarta dalam hal ini memiliki dasar hukum yang cukup kuat untuk memberikan izin reklamasi yakni Keppress No. 52/1995 dan Perpres No.54/2008. Berkaitan dengan KLH kemudian mengeluarkan Kepmen No. 301/2016 untuk melakukan kajian dan evaluasi, menurut Penulis ketentuan itu tidak cukup untuk dijadikan dasar menghentikan reklamasi.
Menurut Penulis untuk mengendalikan proyek reklamasi sebetulnya ada pada izin lingkungan termasuk izin Amdal. Di sana lah letak kewenangan KLH yakni memeriksa Amdal dari kegiatan reklamasi tersebut benar atau tidak. Dari sana pula dapat diketahui mengenai dampak penting dari reklamasi tersebut. Sehingga dapat ditentukan setelahnya apakah proyek reklamasi layak atau tidak untuk dilanjutkan.
Berkaitan dengan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecill (RZWP3K), KKP tetap berwenang memberikan rekomendasi dan izin. Namun kewenangan tersebut perlu dilakukan dengan tetap memperhatikan dasar hukum lainnya yang masih berlaku dan sama-sama mengikat. Salah satunya mempertimbangkan kewenangan Pemprov DKI Jakarta memberikan izin reklamasi yang diberikah oleh Keppres No. 52/1995 dan keberadaan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Ruang yang telah dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta.
Sekali lagi secara yuridis memang banyak ketentuan perundang-undangan yang saling bertabrakan mengenai reklamasi Pantura. Selain yang disebut di atas, soal penetapan zonasi Kawasan Strategis Nasional (KSN) misalnya, selain diatur dalam Perpres No. 54/2008 sebagai turunan dari UU No. 26/2008 tentang Tata Ruang, ternyata juga diatur dalam Peraturan Daerah No 1 Tahun 2012 tentang Penetapan Kawasan Strategis Provinsi. Namun apabila berdebat pada tataran perundang-undangan saja tentu kita akan menemui deadlock atau tidak akan menemui pemecahan.
Reklamasi tidaklah salah sebetulnya apabila dilakukan dengan perencaan yang tepat dan tidak serampangan. Reklamasi perlu dan harus memperhatikan dampak penting yang mungkin akan ditimbulkannya. Dampak yang perlu diperhatikan meliputi lingkungan, potensi banjir, kerusakan tata air, konflik sosial, dan kerusakan ekosistem laut.
Oleh karena itu kedepan izin lingkungan terutama analisis mengenai dampak lingkungan harus lebih terbuka. Agar masyarakat, aktivis lingkungan, para ahli dan lain sebagainya dapat ikut memberikan penilaian. Selain itu walaupun Pemprov DKI Jakarta sudah memiliki Perda Tata Ruang tetap saja Amdal tentang reklamasi harus dilaporkan kepada KLH untuk dilakukan evaluasi dan kajian yang komprehensif. Karena dampak akibat reklamasi bisa jadi tidak hanya dirasakan oleh DKI Jakarta saja tetapi dapat meluas ke daerah lainnya.
Selain oleh Pemprov DKI Jakarta, reklamasi selama ini juga telah dilakukan oleh daerah lain, seperti reklamasi pasca tambang Kepulauan Riau, Nusa Tenggara, dan reklamasi sekitar 2 juta ha lahan rawa untuk pertanian dan pemukian yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia (Suhardjono, 2014). Hanya saja reklamasi Pantura menjadi salah satu kasus yang menarik perhatian masyarakat. Kasus ini barangkali juga akan menjadi titik tolak Pemerintah untuk memeriksa kembali proyek-proyek reklamasi yang telah dilakukan di daerah lainnya.
Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com