Peningkatan harga BBM bersubsidi: bijak namun tidak tepat

Kabar mengejutkan tentang rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dan Solar datang dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan pada Jumat (18/7) lalu. Ia juga menyebutkan bahwa pengumuman kenaikan harga akan disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo di minggu terakhir bulan Agustus 2022 (CNN Indonesia, 21/8/2022).

Desas-desus peningkatan harga Pertalite dan Solar membuat masyarakat kalang kabut. Pasalnya, hal tersebut diproyeksikan akan membuat biaya distribusi barang semakin merangkak naik dan bermuara pada peningkatan harga barang dan jasa secara keseluruhan. Padahal, dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Selasa (16/8) disampaikan bahwa total alokasi anggaran subsidi energi tahun 2022 sebesar Rp502 triliun dan meningkat dari alokasi sebelumnya sebesar Rp170 triliun (republika, 16/08/2022).

Besarnya jumlah alokasi subsidi energi tersebut merupakan upaya mengatasi dampak fluktuasi harga minyak mentah yang tinggi yaitu berada di atas US$100 per barel. Sementara itu, harga Pertalite yang dijual Pertamina saat ini masih di angka Rp7.650 per liter di seluruh wilayah Indonesia. Jika menggunakan harga pasar, semestinya harga keekonomian Pertalite sudah di angka sekitar Rp13.150 per liter. Artinya, negara memberikan subsidi Rp5.500 per liter kepada pengguna Pertalite dan kemungkinan akan semakin meningkat.

Sebagaimana yang telah disebutkan, peningkatan harga Pertalite akan mengakibatkan inflasi. Pada Sidang Tahunan MPR, asumsi dasar makro yang ditetapkan adalah pada tahun 2023 inflasi berada di angka 2-4 persen secara year-on-year. Untuk pertumbuhan ekonomi, diasumsikan berada di sekitar 5,3 – 5,9 persen (Kementerian Keuangan, 2022). Jika kondisi kenaikan harga BBM subsidi tidak dikendalikan, maka asumsi makro yang telah ditetapkan akan semakin jauh dari proyeksi.

Lebih lanjut, sinyal peningkatan harga Pertalite juga diperkuat dengan tindakan Bank Indonesia (BI) yang meningkatkan suku bunga acuan menjadi 3,75 persen sebagai upaya mitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi (Bank Indonesia, 2022). Peningkatan suku bunga acuan tersebut akan menurunkan jumlah uang beredar dan membuat masyarakat mengurangi permintaan dan berakibat pada penurunan harga barang dan jasa. Ketika peningkatan suku bunga acuan tersebut terjadi, maka hal ini akan menurunkan harga barang dan jasa, sehingga daya beli masyarakat akan tetap terjaga.

Kembali pada masalah utama, peningkatan harga Pertalite di satu sisi akan sedikit mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang membengkak karena alokasinya yang besar. Pertimbangan defisit APBN yang kembali di angka 3 persen di tahun 2023 juga menambah usaha kerja keras perputaran anggaran. Namun, kebijakan tersebut bukanlah pilihan yang tepat jika dilakukan dalam waktu dekat ini. Hal itu dikarenakan oleh kondisi masyarakat yang masih dalam pemulihan akibat dampak pandemi. Jangankan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, bahkan saat ini pun daya beli masyarakat belum bisa dikatakan stabil. Ditambah dampak kondisi konflik geopolitik global yang menyebabkan kenaikan harga komoditas pangan.

Terdapat banyak pertimbangan sebelum benar-benar memutuskan untuk meningkatkan harga Pertalite. Salah satunya adalah upah pekerja yang belum sebanding dengan kenaikan BBM. Kabar kenaikan harga BBM hanya akan begitu mudahnya berpengaruh pada elastisitas harga barang pokok, namun tidak bagi kenaikan upah minimum.

Oleh karena itu, subsidi BBM perlu dipertimbangkan untuk dialihkan ke peningkatan gaji buruh secara signifikan sesuai dengan kondisi perusahaan atau pemberi kerja. Dengan demikian, apabila harga Pertalite menyesuaikan harga pasar, kondisi ekonomi dapat menjadi realistis terutama bagi masyarakat rentan. Tentunya, jika langkah ini ditempuh perlu menyesuaikan pula dengan kondisi perusahaan.

Lebih jauh, jika pemerintah memutuskan untuk mengikuti harga pasar Pertalite, hal ini juga akan menambah jumlah masyarakat yang rentan. Dan oleh karena itulah, subsidi BBM perlu dipertimbangkan untuk dialihkan ke subsidi tunai, misalnya berupa bantuan langsung tunai (BLT) dalam jangka tertentu, untuk membantu masyarakat rentan agar dapat bertahan di tengah proses pemulihan ekonomi.

Di sisi lain, jika pemerintah ingin menyesuaikan harga Pertalite sesuai dengan perhitungan pemerintah saat ini, mka Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral perlu mengkoordinasikan dan menghitung dengan baik berbagai dampaknya, terutama pada target asumsi makro tahun 2022, bersama dengan Kementerian Keuangan, Pertamina, dan juga Presiden Republik Indonesia. Tindakan preventif yang dilakukan oleh BI juga dirasa sudah tepat terutama untuk menghindari kondisi hiperinflasi yang diproyeksikan terjadi di bulan September 2022.

Pada proses penyaluran subsidi, perlu adanya pengawasan yang ketat oleh Kementerian Sosial baik pada subsidi BBM maupun subsidi yang berbentuk bantuan langsung tunai (BLT). Hal ini penting mengingat banyaknya celah korupsi yang terjadi di instansi pusat hingga daerah, dan juga masih adanya ketidaktepatan sasaran penerima bantuan sosial.

 

Nuri Resti Chayyani

Peneliti Bidang Ekonomi

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

nurirestic@theindonesianinstitute.com

Komentar