Pelajaran Penting dari Kasus ‘Bensu’

Belakangan ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kasus merek dagang kuliner yang dimiliki selebritis Ruben Samuel Onsu atau familiar dikenal ‘Bensu.’ Berkat ketenaran namanya, Bensu dengan percaya diri mulai merambah peruntungannya di dunia bisnis kuliner dengan membuat menu makanan dengan merek dagang “Geprek Bensu.” Tidak disangka, pasca viralnya ayam ‘Geprek Bensu’, ada pihak lain yang mengklaim bahwa merek dagang tersebut sudah didaftarkan sebagai merek dagang oleh pihaknya, jauh sebelum Bensu memiliki usaha sejenis. Singkat cerita, kedua pihak ini pun mulai berseteru dan menuding satu sama lain melakukan tindak plagiasi atau mencuri merek dagang “Bensu”.

Tulisan ini tidak akan menjelaskan detil kasus di atas, namun kasus ini mengingatkan kita akan arti pentingnya perlindungan dan eksistensi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intelectual Property Right (IPR). Dalam sejarahnya, kekayaan intelektual atau aset yang tak berwujud seperti merek dagang hanya mencapai angka 5 persen dari total aset di dunia pada tahun 1978. Dua dekade berlalu, jumlah aset tak berwujud ini terus mengalami peningkatan yang sangat signifikan, menjadi 72 persen dari total aset, dan sekarang jumlah aset tak berwujud sudah mencapai 75-85 persen (Ciprian et al., 2012).

Peningkatan pesat aset tak beruwujud di atas juga didorong dengan adanya perubahan teknologi yang diikuti dengan tingginya kreativitas dan inovasi (Ramadhani dan Novianti, 2016). Kasus ‘Bensu’ di atas pun dapat menjadi contoh bahwa perlindungan HKI memainkan peranan penting untuk menjamin kepemilikkan sebuah merek. Hak Kekayaan Intelektual juga sekaligus menjadi market differentiation di pasar agar konsumen lebih mengenal produknya, dan pada akhirnya akan tercipta loyalitas konsumen terhadap produk tersebut. Di Indonesia, sebagai negara hukum, proses pengakuan sebuah merek didasarkan pada siapa yang pertama kali mendaftarkannya. Hal ini dikenal dengan istilah first to file (Kontan, 2020). Tidak mengherankan jika HKI merupakan sesuatu yang sangat penting guna mendorong inovasi dan meningkatkan daya saing produk-produk,, yang juga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi suatu Negara.

Melihat Posisi Indonesia

Sebelum jauh ke masalah perlindungan, tulisan ini akan menunjukkan tentang situasi HKI di Indonesia selama ini. Dalam hal ini, kita bisa merujuk pada data Global Competitiveness Index dari World Economic Forum 2016-2017. Dalam laporan tersebut, daya saing Indonesia menempati peringkat ke-41 dari 138 negara yang disurvei, dengan rincian pilar inovasi menduduki peringkat ke-31, sub-pilar kapasitas inovasi menduduki peringkat ke-32, sub-pilar belanja teknologi tinggi pemerintah peringkat ke-12, dan subpilar paten internasional menduduki peringkat ke-99. Sedangkan, data Global Innovation Index yang dikeluarkan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) pada tahun 2018, Indonesia menduduki peringkat ke-85 dari 126 Negara yang disurvei dengan score 29.8 (Kemenperin, 2017).

Sedikit melihat dan membandingkan dengan negara tetangga, mengutip data yang dikeluarkan oleh Intelectual Property Right Index (IPRI) 2017, Indonesia memang cenderung mengalami kenaikan angka indeks IPR/HKI dalam kurun waktu 10 tahun belakangan ini. Misalnya, pada tahun 2016 Indonesia memiliki angka indeks IPR/HKI sebesar 4,19 yang meningkat menjadi 4,2 pada tahun 2017. Kendati angka indeks ini mengalami kenaikan, tetapi secara agregat dari negara-negara anggota ASEAN yang disurvei dalam IPRI (2017), indeks IPR/HKI Indonesia masih menduduki peringkat akhir dari 5 negara yang disurvei di kawasan ASEAN, seperti Singapura (6,9), Malaysia (6,4), Filipina (5,4), dan Thailand (4,5).

Selain itu, PM-HKI menilai bahwa pilar inovasi yang dihasilkan Indonesia, masih berupa riset dasar yang belum dapat diaplikasikan dan dikomersialkan dalam dunia industri (Kemenperin, 2017). Oleh sebab itu, diperlukan upaya-upaya peningkatan inovasi teknologi terapan yang lebih dapat diaplikasikan secara komersial. Dengan demikian, pada akhirnya seluruh hasil inovasi tersebut dapat mendongkrak posisi daya saing Indonesia di kancah ekonomi global dan tentu saja dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

HKI dan UMKM kita

Mari kita melihatnya lebih mikro. Persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini, selain rendahnya peringkat daya saing dan juga HKI, Indonesia juga dihadapkan dengan rendahnya kesadaran terhadap perlindungan HKI khususnya pada sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Terkait data UMKM, hasil penelusuran tulisan ini berakhir pada Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik, dan United Nation Population Fund, yang menunjukkan bahwa jumlah pelaku UMKM di Indonesia pada tahun 2019 sebanyak 62 juta pelaku (Kontan, 2019).  Tidak mengherankan jika nilai sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) UMKM pada tahun 2018 mencapai Rp10 triliun atau sekitar 57,2 persen terhadap PDB Indonesia (Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah/KemenkopUKM, 2018).

Tumbuh pesatnya UMKM juga melahirkan banyaknya merek-merek dagang baru yang mengisi pasar. Namun sayangnya, pelaku UMKM masih jarang sekali yang sadar mengenai pentingnya mendaftarkan merek dagang dan mendorong kreativitas dalam memberikan merek pada produknya. Tidak mengerankan jika kita lihat pelaku UMKM memiliki nama merek dagang yang serupa atau bahkan hanya dimodifikasi sedikit. Padahal aspek legalitas merek dagang ini sangat penting. Kita ketahui bahwa kekuatan merek mampu membuat sebuah produk dapat dikenal dan mudah diingat oleh konsumen. Dengan demikian, merek dagang atau yang kita kenal brand saat ini menjadi sangat penting untuk menjadi sebuah kekuatan bagi pelaku usaha untuk berkompetisi di pasar. Selain itu, dengan legalnya kepemilikan atas merek dagang ini, pelaku UMKM dapat mengeksploitasi kekayaan intelektual yang mereka miliki, yaitu hak untuk membuat, menggunakan, mendistribusikan, menjual, dan mengimpor. Mereka juga dapat menempuh jalur hukum jika ada yang melanggar hak-hak tersebut (Sukarmijan dan Sapong, 2014).

Oleh sebab itu, perlindungan HKI oleh UMKM di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata, karena perlindungan HKI bisa menjadi salah satu faktor yang membuat suatu usaha tetap eksis di dunia industri. Terlebih di tengah disrupsi teknologi dan kreativitas serta inovasi yang dapat mengubah wajah industri-industri yang ada. Dengan demikian, mereka yang tidak mampu mengikuti proses ini, akan dihukum oleh mekanisme pasar dengan sendirinya.

Rekomendasi

Kasus ‘Bensu’ dan melihat secara empiris mengenai perlindungan HKI Indonesia membawa sebuah pelajaran penting bagi Indonesia mengenai pentingnya perlindungan HKI untuk mendukung eksistensi sebuah usaha. Oleh sebab itu, apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia? Berikut beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan.

Pertama, lembaga penelitian dan pengembangan perlu melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar setiap hasil temuan dan penelitiannya dapat ditindaklanjuti guna memenuhi kebutuhan dunia industri. Dengan begitu, hasil penelitian tersebut tidak hanya menembakkan peluru di ruang hampa, namun mampu diaplikasikan dalam bidang industri, sehingga dapat beroperasi lebih inovatif dan efisien.

Kedua, pelaku UMKM perlu melakukan perlindungan merek. Hal ini dapat menjadi pilihan yang tepat bagi pelaku UMKM karena setiap pelaku UMKM pasti menamakan usaha atau perusahaan mereka untuk membedakan dengan kompetitor. Melalui perlindungan merek, maka UMKM berkesempatan mendapatkan posisi tawar yang strategis di pasar nasional maupun internasional. Selain itu, apabila UMKM memiliki merek yang terjamin kualitas produk utamanya, maka tidak menutup kemungkinan UMKM dapat memperluas bisnisnya melalui skema waralaba/franchise.

Dengan demikian, dapat kita lihat bahwa Indonesia masih memiliki peluang untuk mendongkrak angka HKI, sehingga Indonesia dapat menjadi lebih percaya diri untuk berkompetisi di pasar persaingan bebas, khususnya di kawasan ASEAN. Oleh sebab itu, semua pihak baik pemerintah maupun swasta perlu didorong untuk terus berpikir kreatif dan inovatif untuk mendongkrak indeks HKI Indonesia, disertai dengan memperkuat perlindungan hak cipta dan memerangi pelanggaran hak cipta merek agar HKI Indonesia lebih baik dan dapat menstimulasi proses kreatif, menghasilkan peningkatan teknis dan pertumbuhan ekonomi dari suatu negara.

 

Rifki Fadilah, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, rifki@theindonesianinstitute.com

Komentar