Pekan pertama di bulan Februari merupakan Pekan Kerukunan Antar Umat Beragama atau lebih populer dengan World Interfaith Harmony Week (WIHW). Peringatan Pekan Kerukunan Antar Umat Beragama ditetapkan oleh resolusi Majelis Umum Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) A/65/PV.34 yang diusulkan pada Sidang Umum PBB pada 23 September 2010 oleh H.M. Raja Abdullah II dari Yordania. Tujuan dari peringatan ini yaitu untuk mendorong dialog antar keyakinan dan agama yang berbeda dalam meningkatkan saling pengertian, kerukunan dan kerja sama di masyarakat (worldinterfaithharmonyweek.com). Akan tetapi, melihat kondisi di Indonesia, kerukunan umat beragama masih menjadi persoalan hari ini.
Salah satu persoalan yang kerap menjadi konflik antar umat beragama adalah konflik pendirian rumah ibadah. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada pidatonya dalam Rapat Koordinasi Nasional Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah se-Indonesia Tahun 2023, mengingatkan para kepala daerah untuk menempatkan konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 di atas instruksi bupati atau wali kota terkait pendirian rumah ibadah. Padahal Menurut Presiden Jokowi, Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 dengan tegas memberikan jaminan bagi para pemeluk agama untuk melaksanakan ibadah masing-masing agama dan kepercayaannya (antara, 17/1).
Berdasarkan data Laporan kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) di Indonesia tahun 2022, tren pelanggaran di tahun 2022 menunjukkan kasus gangguan tempat ibadah terus mengalami kenaikan yang signifikan dalam enam tahun terakhir. Sepanjang tahun 2022, terdapat 50 tempat ibadah yang mengalami gangguan. Temuan ini adalah angka yang cukup besar bila dibandingkan dengan lima tahun terakhir.
Tabel 1. Jumlah Kasus Gangguan Rumah Ibadah 2017-2022
Labih jauh, pada tahun 2022, dari 50 rumah ibadah yang mengalami gangguan pada tahun 2022, sebanyak 21 menimpa gereja (18 gereja Protestan dan 3 gereja Katolik), 16 menimpa masjid, 6 menyasar wihara, 4 menimpa musala, 2 menarget pura, dan 1 terjadi pada tempat ibadah penghayat (askara.co, 1/2).
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan masih menjadi persoalan di Indonesia, khususnya dalam persoalan rumah ibadah. Padahal, kebebasan beragama dan berkeyakinan telah lama dijamin dalam konstitusi. Namun dalam konteks kebebasan pendirian rumah ibadah, penegakkan terhadap konstitusi seringkali terbentur oleh aturan pelaksana yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 (PBM 2006) yang berisi tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Pendirian Rumah Ibadah.
Berdasarkan riset The Indonesian Institute (TII) tentang Evaluasi Implementasi PBM 2006 (TII, 2015), kebijakan terkait pendirian rumah ibadah masih sarat dengan praktik diskriminatif. Padahal seharusnya sebagai bentuk dari pelayanan publik yang dijamin konstitusi, kebijakan pendirian rumah ibadah harus bersifat non-diskriminatif.
Praktik diskriminatif tersebut tertuang dalam persyaratan administrasi pendirian rumah ibadah. Seperti yang tertulis dalam PBM 2006, Pasal 14 ayat 2 (a) Daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadat minimal 90 orang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah dan (b) Dukungan masyarakat setempat minimal 60 orang yang disahkan oleh Lurah/Kepala desa. Syarat administrasi ini yang kemudian berujung konflik jika syarat ini tidak terpenuhi. Selain itu, jika syarat admnistrasi tersebut terpenuhi kerap kali ada intimidasi kepada pemerintah daerah agar membatalkan keputusan tersebut.
Adanya praktik diskriminatif tersebut diatas, diperkeruh dengan masih rendahnya pemahaman tentang keberagaman baik di aparatur pelaksana maupun di masyarakat. Sehingga masyarakat kita saling mencurigai antar umat beragama. Hal inilah yang memunculkan ancaman bagi kebhinekaan bangsa ini. Oleh karena itu, pesan dalam peringatan Pekan Kerukunan Antar Umat Beragama harus di dorong untuk terimplementasikan.
Kerukunan umat beragama bukan hanya sekadar retorika belaka. Negara harus dapat memberikan jaminan perlindungan terhadap kebebasan semua agama dan kepercayaan untuk beribadah termasuk dalam hal pendirian dan pemanfaatan rumah ibadah. Perlindungan terhadap kebebasan tersebut dilakukan untuk memperkuat kerukunan beragama. Oleh karena itu, upaya yang harus dilakukan adalah pertama, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri untuk menghapus aturan yang bersifat diskriminatif, salah satunya PBM 2006 yang seringkali menjadi dasar persoalan dalam pendirian rumah ibadah.
Kedua, mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk mengimplementasikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016 untuk mewujudkan pelayan publik yang tidak diskriminatif bagi pemeluk agama dan kepercayaan minoritas. Ketiga, Kementerian Dalam Negeri harus dapat mensosialisasikan putusan MK tersebut secara masif kepada pemerintah daerah agar dapat menghapus praktik pelayanan publik yang diskriminatif.
Keempat, mendorong Kepolisian Republik Indonesia untuk memberikan rasa aman bagi seluruh pemeluk agama dan kepercayaan dalam menjalankan ibadah dan rumah ibadahnya sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Hal ini juga berlaku bagi bagi kelompok minoritas seperti Baha’i, Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism, Ahmadiyah, Syiah serta penganut kepercayaan lokal di Indonesia.
Kelima, mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk memperkuat kurikulum pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai penghargaan dan toleransi terhadap keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Keenam, mendorong Kepolisian Republik Indonesia untuk menegakkan hukum bagi kelompok maupun individu yang melakukan tindakan intoleransi, termasuk mengganggu dan merusak rumah ibadah agama dan kepercayaan di Indonesia.
Arfianto Purbolaksono
Manajer Riset dan Program
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)