Wacana perombakan Kabinet Indonesia Bersatu dan kedekatan the ruling party (Partai Demokrat) dengan partai oposisi (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/PDIP) mulai hangat lagi diperbincangkan. Meskipun Megawati kerap menegaskan bahwa koalisi di antara kedua partai itu kecil kemungkinan terwujud, peluang ini masih tetap terbuka. Jika dilihat dari pernyataan beberapa petinggi PDIP, seperti Taufiq Kiemas, Puan Maharani, Tjahjo Kumolo, dan Pramono Anung, misalnya, koalisi antara Partai Demokrat dan PDIP bukan tidak mungkin akan terwujud.
Isu reshuffle kabinet dan PDIP yang menempati posisi Golkar tampaknya akan semakin hangat dan semarak di akhir tahun ini. Pertanyaannya, siapa saja yang berkepentingan dengan penggelindingan isu reshuffle? Sejauh mana peluang Golkar dikeluarkan dari koalisi, dan apa keuntungannya bagi PDIP jika masuk pemerintahan?
Empat perspektif
Penggelindingan isu reshuffle paling tidak dapat dibaca dalam empat perspektif politik. Pertama, dari perspektif kepentingan partai mitra koalisi, terutama Partai Golkar. Isu reshuffle boleh jadi sengaja diembuskan untuk memperkuat posisi tawar partai-partai di hadapan presiden. Berdasarkan pengalaman lima tahun lalu, misalnya, isu reshuffle kerap dijadikan alat bagi partai-partai mitra koalisi untuk melakukan negosiasi dan tawar-menawar politik dengan presiden.
Kedua, isu reshuffle kabinet juga dapat dilihat dari perspektif kepentingan Partai Demokrat. Isu reshuffle kabinet mengganti Golkar dengan PDIP dan kedekatan Demokrat dengan PDIP sengaja diembuskan politikus Demokrat untuk menggertak Golkar. Apalagi Golkar selama ini dikenal paling sering bermanuver di koalisi. Selain itu, isu reshuffle bisa dibaca sebagai efek dari dinamika internal Partai Demokrat. Di balik isu reshuffle sangat mungkin ada kepentingan Demokrat atau kepentingan “faksi politik” di internal partainya Yudhoyono itu. Karena itu, isu reshuffle boleh jadi justru sengaja diembuskan Partai Demokrat sendiri sebagai imbas dari menguatnya faksionalisme politik di internal Demokrat.
Ketiga, isu reshuffle juga bisa dilihat dari perspektif kepentingan partai oposisi PDIP. Partai oposisi mungkin saja berkepentingan untuk masuk ke dalam kabinet dalam rangka optimalisasi kekuasaan dan memperkuat akses ekonomi politik ke pemerintahan. Apalagi belakangan ini beberapa politikus partai itu sedang terancam terjerat masalah hukum.
Keempat, isu reshuffle dibaca dari perspektif kepentingan pemerintah (presiden) sebagai strategi pengalihan isu. Karena, isu reshuffle berpotensi dijadikan sebagai pengalihan berbagai isu dan persoalan terutama persoalan mafia hukum dan korupsi yang tak kunjung terselesaikan oleh pemerintah belakangan ini.
Pada keempat perspektif inilah, isu reshuffle kabinet sejatinya dapat dibaca hanya sebagai gertak politik dan pertarungan kepentingan partai-partai besar di parlemen, terutama antara Demokrat dan Golkar.
Mengeluarkan Golkar
Partai Golkar, sebagai partai terbe Partai Golkar, sebagai partai terbesar kedua di parlemen, tentu saja ingin menggapai kekuasaan yang lebih optimal.
Selama setahun bersama SBY-Boediono, Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie (Ical) tampaknya memang belum memperoleh hal itu. Benar bahwa Ketua Umum Golkar menduduki jabatan strategis sekaligus prestisius sebagai ketua harian sekretariat gabungan koalisi. Meskipun demikian, Golkar sejatinya belum memiliki ruang manuver yang leluasa dalam mempengaruhi kekuasaan pemerintahan. Karena itu pula, munculnya aspirasi yang cukup kuat di kalangan Golkar agar ada reshuffle kabinet sejatinya dalam rangka optimalisasi kekuasaan itu, melalui tambahan jatah kursi menteri di pemerintahan.
Paling tidak bagi Golkar, skenario dan target politik seperti di masa pemerintahan Yudhoyono-Kalla dapat tercapai. Tingkat representasi Golkar
di kabinet pada saat itu–pemerintahan Yudhoyono-Kalla-mengalami grafik naik. Kenaikan dari awal pemerintahan (dua kursi menteri) hingga
kemudian terjadi dua kali reshuffle menjadi tiga dan kemudian empat kursi menteri.
Apalagi, belakangan ini kasus “mafia pajak Gayus” yang kerap dikaitkan dengan persoalan pajak perusahaan Ical yang juga Ketua Umum Partai
Golkar berpotensi menyandera partai beringin itu. Pada kondisi seperti ini, sangat mungkin Golkar memperkuat peran politik dua kakinya,
berkoalisi di pemerintahan sekaligus memperkuat peran oposisi di parlemen.
Di titik inilah, pertimbangan Yudhoyono untuk mengeluarkan Golkar dari pemerintah menjadi relevan dan cukup beralasan dalam rangka menata ulang koalisi dan memperkokoh soliditas internal koalisi. Hanya, kendalanya, apakah Yudhoyono memiliki nyali politik yang cukup besar untuk
mengeluarkan Golkar dari kabinet. Sebab, jika berharap Golkar yang berinisiatif keluar dari pemerintahan, hampir tidak mungkin terjadi,
karena Golkar sulit menjauh dari kekuasaan.
Keuntungan PDIP
Jika kita amati, gaya beroposisi PDIP pada periode kedua pemerintahan Yudhoyono memang relatif lebih “lunak” ketimbang lima tahun
sebelumnya. Meskipun ketua umumnya, Megawati, kerap melakukan kritik keras terhadap pemerintah, posisi “keras” Megawati itu sering kali
dinetralkan atau diimbangi sikap “lunak” Taufiq Kiemas, melalui strategi politik akomodatif dan kompromistiknya.
Terlepas dari berbagai kepentingan poli tik terselubung partai-partai, terutama kepentingan Demokrat untuk menggertak Golkar, isu kedekatan
Demokrat dengan PDIP tetap berpeluang terwujud. Hanya, faktor Megawati tetap menjadi kendala terbesar “perkawinan politik” antara PDIP dan
Demokrat.
Seandainya PDIP memutus kan bergabung ke dalam pemerin tahan, selain menuai risiko negatif, juga memiliki keuntungan secara elektoral tentunya selain optimalisasi kekuasaan dan akses ekonomi politik bagi PDIP. Setidaknya ada tiga keuntungan bagi tingkat elektabilitas PDIP. Pertama, PDIP berpoten si dipersepsikan sebagai partai yang konstruktif, akomodatif, dan obyektif, terutama bagi pendukung Yudhoyono. Persepsi ini jelas berdampak positif bagi elektabilitas PDIP di tengah inkon sistensi partai-partai mitra koa lisi. Walaupun demikian, juga berisiko dianggap sebagai partai tidak konsisten.
Kedua, sikap PDIP ini akan membuka peluang bagi pemilih di luar massa tradisional PDIP terutama kelompok pemilih Yudhoyono-Boediono yang
berasal dari basis massa partai-partai mitra koalisi untuk memberi dukungan elektoral. Tentu juga disertai risiko negatif hengkangnya
pendukung fanatik partai.
Ketiga, PDIP akan mendapat dampak positif secara elektoral, bukan hanya efek dari menurunnya kepuasan publik terhadap pemerintah, tetapi juga
sebaliknya, imbas dari persepsi positif publik terhadap kinerja pemerintah, seperti halnya efek politik bagi Partai Demokrat.
Pada titik inilah keputusan mengeluarkan Golkar dan memasukkan PDIP ke dalam kabinet memiliki keuntungan sekaligus kerugian bagi tiap partai,
Demokrat, Golkar, maupun PDIP. Karena, setiap pilihan politik jelas mengandung risiko politik.
Akhirnya, andaikata Yudhoyono akan merombak kabinet, inilah momentum yang tepat untuk menentukan partai-partai mana yang layak diajak
berkoalisi, dan partai mana pula yang pantas dikeluarkan dari pemerintahan. Kita tunggu saja, apakah Megawati dan PDIP akan masuk pemerintahan, dan SBY memiliki nyali politik cukup besar untuk mengeluarkan Golkar dari kabinet? Saya termasuk yang “berharap” sekaligus yang “ragu”hal itu terjadi.
http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/12/02/ArticleHtmls/02_12_2010_011_011.shtml?Mode=1