Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Laode Ida, menduga ada beberapa permainan dalam pembentukan daerah otonomi baru (DOB). Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu menangkap dengan menelusuri pelaku “mafia” pemekaran daerah tersebut. “Apakah memang ada permainan? KPK perlu menelusuri juga dengan cara tertentu para pelaku pemekaran itu,” kata Laode dalam diskusi mengenai pembangunan daerah otonomi baru di The Indonesian Institute, Jakarta, Rabu (11/12).
Laode menilai, masih terlihat di sejumlah daerah hasil pemekaran, ada beberapa fenomena yang menunjukkan ketidakadilan bagi masyarakat setempat jika dibandingkan dengan objektivitas di lapangan. “Saya mendengar ada banyak uang untuk proses ini. Dari aparat itu untuk uang jalan, dari rakyat itu saweran masyarakatnya, dan dialirkan ke mana? Kita tidak tahu,” katanya.
Oleh sebab itu, Laode mengimbau para aktivis pemerhati daerah otonomi baru untuk dapat membantu dalam pemantauan pemekaran di daerah-daerah. Lebih lanjut, Laode juga mengatakan, bahwa ada banyak sumber daya yang dibawa dari daerah pemerakan menuju ke pusat. Namun, tidak jelas untuk apa dan kepada siapa sumber daya tersebut ditujukan. “Dari sinilah KPK perlu mengawasi para pengambil kebijakan terkait dengan pemekaran daerah ini,” katanya.
Namun, ketika disinggung mengenai laporan yang dia terima perihal penyelewengan sumber daya dan anggaran terkait dengan pemekaran, Laode enggan untuk memberi komentar.
Sebelumnya, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Otonomi Daerah, Prof Ryas Rasyid, menilai, usulan pemekaran daerah atau pembentukan DOB dinilai hanya sebagai kepentingan politik elite untuk mendapat kursi kekuasaan. Pemekaran daerah bukan untuk kepentingan menyejahterakan rakyat.
“Semua itu politik. Itu permainan elite semua, baik elite lokal maupun elite partai di nasional. Yang diingat kan kursi partai dapat sekian. Orang partai bisa jadi bupati/wali kota, gubernur. Itu dalam pikiran mereka (elite yang mengusulkan pemekaran daerah),” katanya, di Jakarta, Minggu (23/11).
Menurut Ryas, pembentukan DOB justru cenderung jauh dari kepentingan rakyat. Pasalnya, kata Ryas, logikanya, setiap pemekaran daerah secara otomatis menambah beban anggaran negara. Uang yang seharusnya untuk kepentingan rakyat dialihkan untuk biaya operasional pembentukan DOB dan biaya aparat. “Jika terjadi pembengkakan pada operasional, maka aliran untuk rakyat jadi makin kecil, itu jadi makin berkurang,” ujar Ryas.
Belum lama ini, rapat paripurna DPR menyetujui 65 rancangan undang-undang (RUU) pembentukan DOB. Di antaranya adalah pembentukan delapan provinsi baru, yaitu Provinsi Tapanuli, Provinsi Kepulauan Nias, Provinsi Pulau Sumbawa, Provinsi Kapuas Raya, Provinsi Bolaang Mongondow Raya, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Barat Daya.
Sumber: Suarakarya.com.