Jakarta, 30 April 2020
Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Muhamad Rifki Fadilah mengatakan bahwa penerapan kebijakan dengan skema Omnibus Law akan memberikan dampak positif bagi perkembangan investasi di Indonesia paskah pandemi COVID-19 ini.
“Selama ini kita banyak dihantui dengan permasalahan yang ditimbulkan karena regulasi yang gemuk dan tumpang tindih. Oleh sebab itu, Pemerintah mengusulkan skema Omnibus Law untuk menjadi bagian Prolegnas dan dibahas di DPR, termasuk RUU Cipta Kerja, untuk mendorong efisiensi regulasi untuk mendukung investasi, khususnya pada sektor industri manufaktur di Indonesia setelah COVID-19 nanti,” ungkap Rifki
Lebih lanjut dirinya mengatakan, dengan adanya efisiensi regulasi dari perizinan usaha yang tercantum dalam Omnibus Law seperti yang dimasukkan dalam RUU Cipta Kerja, berpotensi menarik minat pengusaha dan investor luar negeri agar mau berinvestasi untuk membangun lebih banyak industri manufaktur di Indonesia, karena aspek kemudahan berusaha yang ditawarkan oleh kebijakan tersebut.
“Dengan kata lain, Omnibus Law, termasuk RUU Cipta Kerja dipandang sebagai strategi yang tepat bagi Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan perekonomian nasional. Namun, yang harus dipastikan terlebih dahulu adalah agar skema Omnibus Law dibahas dengan mendalam agar dalam prosesnya nanti tidak melanggar ketentuan dan tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta tidak mendorong terjadi pelanggaran akibat ketentuan yang tidak disebutkan dan diatur dengan jelas. Misalnya, terkait penegakan hukum dan HAM, pelestarian lingkungan, penyelenggaraan kebijakan, serta kesepakatan kontrak, katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta.
Selain itu, dirinya juga mengungkapkan bahwa Omnibus Law dapat mengurangi transaction costs melalui efisiensi regulasi, seiring dengan dihapusnya beberapa pasal dan UU yang dinilai menghambat investasi.
“Transaction costs yang dapat dipangkas lewat skema Omnibus Law, termasuk dalam kategori bargaining cost atau biaya kesepakatan dan policing and enforcement costs atau penerapan kontrak. Dalam hal ini, skema Omnibus Law merupakan solusi dari salah satu permasalahan yang ditekankan oleh penilaian Ease of Doing Business (EODB) untuk Indonesia, yaitu enforcing contract,” ujar Rifki
Selain itu, skema Omnibus Law juga dapat meminimalisir terjadinya praktik institutional corruption di sektor manufaktur, karena berkurangnya transaction costs pada perizinan usaha dan investasi.
Rifki mengatakan bahwa sektor manufaktur sendiri merupakan sektor yang paling rentan terkena biaya-biaya yang tidak diperlukan yang diberlakukan oleh Pemerintah Daerah. Misalnya, di dalam data EODB 2020, waktu pengurusan perizinan konstruksi bangunan (dealing with construction permits) di Indonesia dapat mencapai hampir 200 hari.
“Hal ini tentu menjadi salah satu kendala yang cukup pelik bagi sektor manufaktur karena terdapat birokrasi yang berbelit-belit hingga hampir 1 tahun, hanya untuk mengurus perizinan bangunan. Kendala ini dapat berkembang menjadi institutional corruption yang dilakukan oleh pihak perusahaan maupun institusi pemerintah untuk mempercepat birokrasi perizinan tersebut,” katanya.
Dengan demikian, skema kebijakan Omnibus Law, termasuk yang diusulkan Pemerintah melalui RUU Cipta Kerja, diharapkan dapat memberikan iklim kondusif untuk investasi dan kemudahan berusaha Indonesia, serta meningkatkan daya saing Indonesia dan kesejahteraan pada umumnya. Hal ini akan dimungkinkan mengingat skema kebijakan Omnibus Law akan menghindarkan biaya-biaya yang tidak diperlukan, karena adanya institutional corruption yang terjadi pada pihak-pihak tertentu.
Rifki Fadilah
Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
rifki@theindonesianinstitute.com