Akun resmi Instagram Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengunggah dua konten berisi dukungan kepada Ketua DPD, La Nyalla Mattalitti, agar menjadi calon presiden pada Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak tahun 2024. Dukungan tersebut datang dari beberapa orang kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Pare-Pare (katadata.co.id, 31/5/2022). Saat ini, kedua unggahan tersebut telah dihapus.
Terkait dengan adanya unggahan dukungan terhadap pribadi La Nyalla untuk menjadi calon presiden, Kepala Biro Protokol, Humas, dan Media DPD RI, Mahyu Darma, menjelaskan bahwa konten yang dipublikasikan pada akun media sosial DPD RI merupakan buatan staf khusus para anggota DPD. Kemudian pihak Humas DPD akan melihat apakah konten tersebut melanggar aturan yang ada. Terkait dengan dua unggahan menyangkut dukungan untuk La Nyalla tersebut, Mahyu Darma tidak menemukan adanya unsur pelanggaran (katadata.co.id, 31/5/2022). Namun, dengan dihapusnya kedua konten yang bermuatan dukungan menunjukkan bahwa mengunggah hal tersebut merupakan sebuah kekeliruan.
Media sosial milik lembaga negara seperti DPD, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), maupun yang berada pada rumpun cabang kekuasaan eksekutif ditujukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat terkait dengan aktivitas yang dilakukan oleh masing-masing pejabat negara dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Selain itu, media sosial juga berhasil memangkas jarak antara rakyat dan pemerintah, karena masyarakat dapat secara langsung memberikan komentar di kolom yang telah disediakan, meskipun tidak selalu akan ditanggapi. Perkembangan teknologi informasi memang mengubah cara interaksi dalam bernegara.
Pemanfaatan media sosial resmi milik lembaga negara seperti yang dilakukan oleh La Nyalla selaku Ketua DPD bukanlah hal yang elok untuk ditiru. Pasalnya, dukungan yang diberikan oleh Kader PPP dan KAHMI Pare-Pare kepada La Nyalla untuk menjadi calon presiden pada tahun 2024 bukan merupakan bagian dari pemenuhan tugas pokok dan fungsi DPD. Pasal 22D UUD 1945 memberikan kewenangan kepada DPD dan semuanya terkait dengan kepentingan daerah, yaitu mengajukan, ikut membahas, dan melakukan pembahasan rancangan undang-undang dan/atau undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Tugas yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas pada persoalan terkait dengan kebutuhan dan kepentingan daerah, sehingga pertemuan dengan kader dari partai politik dan membagikannya melalui media sosial resmi milik DPD bukanlah merupakan hal yang patut dilakukan. Pasal 5 huruf m Peraturan DPD Nomor 2 Tahun 2018 tentang Kode Etik DPD telah mengisyaratkan agar setiap anggota tidak menggunakan kewibawaan DPD untuk kepentingan di luar tugas dan wewenang. Menjunjung tinggi kode etik merupakan langkah untuk menjaga lembaga tersebut agar dapat benar-benar bekerja demi kebutuhan dan kepentingan daerah.
Media sosial resmi yang dimiliki oleh lembaga negara rawan untuk digunakan demi kepentingan pribadi. Menampilkan citra diri secara berlebihan hingga menutupi pesan yang hendak disampaikan melalui sebuah konten dapat dikategorikan sebagai penyelewengan kewenangan. Namun, hingga saat ini belum terdapat ketentuan khusus yang menjadi standar bersama dalam pemanfaatan media sosial resmi milik lembaga negara.
Agar peristiwa yang sama tidak kembali terulang dan media sosial resmi milik dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukannya, maka dibutuhkan mekanisme kurasi konten dan standar yang sama bagi semua lembaga negara. Pengaturannya tidak perlu dibuat dalam bentuk undang-undang, namun cukup dibuat dalam bentuk peraturan teknis pelaksanaan di masing-masing lembaga terkait.
Hemi Lavour Febrinandez
Peneliti Bidang Hukum