Musim Semi Oligark Daerah

Momen perhelatan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar secara serentak kemarin, memang dapat dikatakan bukan sekedar pesta demokrasi biasa. Pasalnya, jika dibanding dengan perhelatan sebelumnya, pesta demokrasi inilah yang paling kental akan corak politik dinasti atau kekerabatan.

Namun, permasalahan yang mengekori perhelatannya, sekiranya bukan hanya soal itu saja. Jika diperhatikan, terdapat hal lain yang sebenarnya tidak kalah mengkhawatirkan dari merebaknya wabah politik dinasti, yaitu soal berseminya tren calon kepala daerah yang berasal dari kalangan pengusaha.

Hal ini sebagaimana terlihat dari hasil riset Komisi Pemberantasan Korupsi (2020), yang menyatakan sebanyak 45 persen pasangan calon kepala daerah yang terdaftar dalam Pilkada serentak 2020 merupakan seorang pengusaha. Menariknya, studi ini juga turut diamini oleh Tempo dan Yayasan Auriga Nusantara (2020), yang menelusuri dan menemukan sebanyak 276 kandidat kepala dan wakil kepala daerah terafiliasi dengan 931 perusahaan.

Apa yang kemudian tergambarkan secara jelas dalam penelusuran itu, tentu dapat dikaitkan dengan fenomena oligarki yang secara sederhana dikemukakan oleh Winters (2011), sebagai politik pertahanan kekayaan (wealth defense) yang dijalankan oleh pelaku kekayaan material atau yang secara teknis dapat disebut dengan istilah oligark (oligarch).

Dalam beberapa kajian, hal ini tentu juga disebut sebagai salah satu faktor pemicu korupsi di daerah. Sebab, kandidat yang terpilih akan sangat mungkin menginginkan pengembalian biaya Pilkada melalui kewenangannya sebagai kepala daerah (KPK, 2020). Bentuknya, boleh jadi beragam. Namun yang paling mendekati, bisa saja dalam bentuk state capture corruption dalam skala lokal.

Misalnya, melalui intervensi kegiatan belanja daerah, seperti pengadaan barang dan jasa, pengelolaan kas, hibah, dan bantuan sosial. Bisa juga, melalui intervensi berupa pajak, retribusi, ataupun pendapatan daerah dari pemerintah pusat. Dan terakhir, bisa jadi melalui intervensi perizinan berupa pemberian rekomendasi, penerbitan izin hingga pemerasan, atau penyalahgunaan wewenang dalam proses lelang jabatan.

Meski begitu, gelaran Pilkada telah selesai dihelat dan hasilnya sudah dapat diketahui secara pasti. Untuk itu, usaha terbaik yang setidaknya dapat dilakukan oleh masyarakat saat ini, ialah memperketat pengawasan dan mendorong transparansi kinerja serta penggunaan anggaran dari masing-masing pasangan kepala daerah terpilih.

Selain itu, ikhtiar lain yang dapat dilakukan agar fenomena ini dapat dicegah dikemudian hari, ialah mendorong revisi pengaturan Undang-Undang Pilkada. Khususnya dalam hal membakukan aturan pencalonan yang setidaknya dapat menjadi standar etik dan acuan untuk memitigasi peluang terjadinya benturan kepentingan kepala daerah dengan perusahaan miliknya, juga dalam rangka mencegah langgengnya budaya-budaya koruptif yang menyebabkan biaya politik menjadi mahal.

Termasuk dalam hal ini, mengatur kewajiban setiap calon pasangan kepala daerah untuk mengumumkan hubungannya dengan perusahaan tertentu sejak mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum. Apabila mereka terpilih, masyarakat paling tidak dapat lebih terbantu dalam melakukan pengawasan terhadap setiap kebijakan yang dapat berdampak terhadap perusahaan tersebut.

 

Aulia Guzasiah

Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute

auliaan@theindonesianinstitute.com

Komentar