Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) masih berlanjut seiring dengan resesi yang mengancam perekonomian global. Padahal, kondisi tersebut sudah mulai terjadi sejak awal tahun 2022, di mana lebih dari 10 perusahaan start-up melakukan PHK untuk efisiensi perusahaan. Selain bidang teknologi, saat ini pekerja industri tekstil juga mengalami ancaman PHK. Bahkan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anton J Supit, mengatakan sudah ada 45 ribu orang pekerja yang sudah dirumahkan oleh pabrik industri tekstil (cnnindonesia.com, 9/11/2022). Pertistiwa tersebut masih merupakan imbas dari invasi Rusia ke Ukraina yang membuat permintaan komoditas seperti garmen dan alas kaki menurun.
Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto juga mengungkapkan bahwa alasan munculnya ancaman PHK di industri tekstil dikarenakan adanya perlambatan ekonomi yang terjadi pada negara mitra dagang Indonesia seperti Amerika Serikat dan Eropa. Perlambatan permintaan membuat stok yang telah terproduksi menumpuk dan terjadi kerugian. Hal ini menyebabkan para pelaku usaha mengalami trade-off dan memilih untuk merumahkan pegawainya (cnnindonesia, 09/11/2022).
Padahal, berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan September 2022, Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang menyumbang surplus neraca perdagangan nonmigas, yaitu sebesar USD1.257,8 juta. Nilai tersebut terdiri dari komoditas alas kaki (tekstil), mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya, dan juga komoditi lemak dan minyak hewan/nabati.
Selain alas kaki, ada kemungkinan badai PHK dari industri lain selain tekstil, terutama dari sisi ekspor nonmigas yang selama ini berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi dan mengalami windfall di tengah ancaman resesi. Hal itu sudah diwanti-wanti oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dengan mengumumkan bahwa triwulan IV, Indonesia juga akan mengalami perlambatan ekonomi (kontan.co.id, 09/11/2022).
Permasalahan mengenai ketenagakerjaan ini harus segera diatasi sebelum lebih banyak lagi tindakan PHK perusahaan dalam rangka efisiensi pada komoditi lain selain industri start-up maupun industri tekstil. Pemilihan kebijakan yang harus dilakukan juga perlu adil dan mengutamakan kesejahteraan bagi kedua belah pihak, baik pekerja maupun pelaku usaha. Lebih jauh, kebijakan yang diambil juga harus mempertimbangkan dampak sampingan kebijakan tersebut selanjutnya.
Sebagaimana yang dilakukan ketika pandemi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu memberlakukan restrukturisasi kredit bagi pengusaha berdasarkan skala usahanya. Restrukturisasi ini penting dalam rangka mempertahankan keberlangsungan usaha dengan memberikan pilihan dalam hal kredit untuk mencegah pemberhentian karyawannya.
Kemudian, Kementerian Ketenagakerjaan juga perlu memastikan dan bahkan membentuk tim satuan tugas pengamanan PHK untuk mengawasi prosesnya agar pekerja mendapatkan haknya. Pekerja yang mendapat PHK juga perlu diberikan wadah sehingga dapat dengan bebas memilih alternatif lain agar tetap berpenghasilan.
Lebih lanjut, setelah pekerja memperoleh kebebasan dalam ekonominya, OJK maupun dengan kelembagaan keuangan juga perlu meningkatkan indeks Ease of Doing Business (EoDB). Hal ini penting agar dapat membuka pintu selebar-lebarnya bagi pekerja yang ter-PHK dalam memulai dan menekuni bisnis mulai dari perizinan hingga memperoleh pinjaman.
Nuri Resti Chayyani
Peneliti Bidang Ekonomi
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)