Menyimak Usulan Dana Saksi Pemilu 2019 Melalui APBN

Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan agar saksi saat pemilu dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ketua Pansus RUU Pemilu, Lukman Edy, mengatakan dana yang dibutuhkan untuk membiayai saksi kurang lebih mencapai Rp 1,5 triliun. Dana ini akan dibagi per saksi tiap partai di 600 ribu Tempat Pemungutan Suara (TPS) di seluruh Indonesia. Menurut Edy, selama ini parpol dan capres peserta Pemilu sangat terbebani dalam membayar saksi tersebut. Oleh karena itu mayoritas fraksi di DPR sudah satu suara mengenai hal ini. Kini, tinggal menunggu persetujuan Pemerintah (rmol.co, 03/05/17).

Menyikapi usulan tersebut, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, menilai bahwa ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, terutama soal besaran anggaran.  Mengingat masih banyak kebutuhan di sektor lain yang harus dibiayai negara. Selain itu, konsekuensi lainnya ialah partai politik harus siap diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebab, saat usulan tersebut disetujui, mereka telah terhitung menerima dana langsung untuk operasional (kompas.com, 02/05/17).

Sebenarnya, bukan kali ini saja dana saksi untuk pemilu diusulkan. Jelang Pemilu 2014, dana saksi pemilu sempat juga bergulir. Wacana dana saksi partai saat itu muncul pada saat rapat koordinasi yang dilakukan antara pemerintah dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada awal Januari 2014. Pemerintah kala itu menyampaikan keluhan dari partai soal kehadiran saksi parpol di tiap TPS.

Pada saat itu, banyak partai tak mampu membiayai saksi di tiap TPS. Oleh karenanya, Pemerintah berencana untuk mengucurkan Rp 660 miliar untuk honor saksi untuk 12 partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Dana itu termasuk dalam anggaran yang digelontorkan melalui Bawaslu yaitu sebesar Rp 1,5 triliun. Rencananya dana tersebut akan diambil dari dana optimalisasi (merdeka.com, 28/1/2014). Namun pada akhirnya wacana tersebut ditolak oleh sejumlah partai.

Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Tjahjo Kumolo, pada saat itu menyatakan menolak bila saksi partai peserta pemilu di TPS dibiayai oleh negara dalam APBN. Hal ini dikarenakan penggunaan uang negara untuk biaya saksi pemilu parpol susah dipertanggungjawabkan dan rawan korupsi. Selain itu, pembiayaan saksi dari dana APBN juga dianggap mengganggu kemandirian partai dalam pelaksanaan pemilu (antaranews.com, 25/1/2014). Sejalan dengan PDIP, Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh menyatakan beban anggaran para saksi atau pengawas harus ditanggung oleh masing-masing parpol (rmol.co, 24/1/2014).

Selain partai politik, sejumlah organisasi masyarakat sipil juga dengan tegas menolak pemberian dana saksi bagi partai. Mereka beralasan, pertama, dana saksi parpol tidak jelas dasar hukumnya. Kedua, dana saksi parpol melanggar prinsip pengelolaan keuangan negara. Ketiga, parpol adalah peserta pemilu legislatif, maka parpol yang wajib membiayainya lewat sumber yang sah menurut uu, termasuk membiayai saksi karena bekerja untuk kepentingan masing-masing parpol. Keempat, melegalkan korupsi APBN. Kelima, mendelegitimasi penyelenggara pemilu. Keenam, menjerumuskan Bawaslu dalam pelanggaran UU (antikorupsi.org, 2/2/2014).

Penulis sendiri menilai bahwa usulan pendanaan saksi pada Pemilu 2019, sudah sejogyanya kembali ditolak seperti halnya di tahun 2014 yang lalu. Penulis berpendapat bahwa persoalan dana saksi partai sudah seharusnya menjadi konsekuensi dari partai itu sendiri yang notabene sebagai peserta pemilu. Partai politik-lah yang seharusnya secara mandiri membiaya saksi nya dalam Pemilu 2019.

Guna mendorong hal tersebut di atas, maka diperlukan perbaikan dalam pengaturan keuangan parpol. Pengeluaran parpol baik yang bersifat tahunan maupun lima tahunan, harus dibatasi dengan hanya menjalankan kegiatan berdasarkan fungsi parpol itu sendiri. Fungsi parpol seperti fungsi sosialisasi, fungsi kaderisasi, fungsi rekruitmen, fungsi agregasi kepentingan, fungsi komunikasi dan fungsi pengatur konflik (Pembiayaan Partai Politik di Sulawesi Selatan, Kemitraan & Kopel, 2013).  Dengan adanya pembatasan ini maka pengeluaran parpol tidak membengkak dan parpol pun diharapkan dapat membiayai saksinya.

 

Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar