Arus balik setelah libur lebaran sering juga diikuti dengan arus urbanisasi. Ini sudah menjadi momok bagi pelbagai kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta dan beberapa kota satelit di sekitar Jakarta.
Khusus untuk Jakarta, berdasarkan data dari hasil survei yang dilakukan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) warga pendatang pasca lebaran 2017 ini mencapai 70.752 orang dengan mayoritas berasal dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Yogyakarta dan Jawa Timur.
Oleh banyak pemerintah kota atau provinsi tindakan untuk ‘menangkal’ para pendatang baru ini adalah dengan melakukan razia pada berbagai terminal kedatangan, bagi para pendatang yang tidak bisa menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) setempat. Tindakan yang diambil adalah mengembalikan mereka ke daerah asalnya.
Kebijakan ini dinilai tidak efektif, karena seperti kita ketahui tidak semua penumpang tujuan kota/daerah tersebut turun di terminal, namun sebelum sampai di terminal. Hal lainnya adalah karena para pendatang baru tersebut tak jarang juga ikut dengan para pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi, dan ini tak tersentuh razia aparat.
Tindakan berbeda ditunjukkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta beberapa tahun terakhir. Mereka tidak lagi melakukan razia yang sering disebut Operasi Yustisi Kependudukan (OYK) yang bukan hanya melakukan razia di terminal-terminal namun juga ke pemukiman penduduk.
Dengan kebijakan ini bukan berarti pendatang bisa bebas dan penambahannya tak terkendali. Pihaknya akan memperketat dengan Peraturan Daerah No. 8/2007 tentang Ketertiban Umum. Berdasarkan Perda tersebut, pengemis dan gelandangan tak akan dibiarkan. Pihaknya akan merazia kemudian akan memilih mana yang akan dibina dan dipulangkan ke tempat asalnya. Penyisiran pun dilakukan termasuk yang meninggali lahan yang bukan peruntukkannya.
Kebijakan Bina Kependudukan sebagai opsi pengganti OYK ini dilakukan dengan cara mendata dan memilih siapa yang berhak mendapat KTP DKI. Salah satu acuannya adalah dilihat dari profilnya, rata-rata pendidikan terakhir haruslah SMA dan kemudian dilakukan pembinaan. Jika di bawah SMA, maka akan dikembalikan ke daerah asal mereka.
Langkah Pemprov DKI ini patut diapresiasi dan bisa dijadikan contoh daerah lain, paling tidak oleh daerah-daerah sekitar Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi yang juga ramai oleh pendatang baru setelah liburan lebaran.
Namun, daerah-daerah ‘pengirim’ pendatang baru ini juga harusnya berbenah. Tidak bisa dipungkiri, selain karena alasan pribadi yang memang ingin bekerja di kota besar, alasan jamak para pendatang baru ini tetap membanjiri kota-kota besar adalah ketiadaan lapangan pekerjaan di daerah asal mereka.
Pemerintah daerah setempat harus aktif membuat pelatihan peningkatan keterampilan bagi para angkatan kerja yang masih menganggur. Proses ini bukan hanya bermanfaat untuk pengangguran tersebut tapi juga bagi daerah yang bersangkutan karena angkatan kerja yang terampil akan sangat diminati oleh dunia lapangan kerja dan otomatis meningkatkan atau menggerakkan perekonomian daerah setempat. Dan, ataupun ketika para tenaga kerja terlatih ini ingin bekerja di kota-kota besar, mereka sudah siap kerja dan tidak akan ‘menyusahkan’ pemerintah kota setempat dengan menjadi pengemis atau gelandangan.
Terlihat kemudian, untuk persoalan urbanisasi ini bukan hanya tanggung jawab daerah tujuan namun juga daerah asal para pendatang baru ini. Hanya dengan kerja sama dan koordinasi kedua belah pihak, maka persoalan urbanisasi ini bisa diatasi secara efektif.
Penulis: Lola Amelia, lola@theindonesianinstitute.com