Menjaga Stabilitas Daya Beli Masyarakat

Untuk memperbaiki kondisi ekonomi dalam negeri akibat terpaan ketidakpastian situasi global, terhitung mulai tanggal 9 September 2015 pemerintah mulai menerapkan kebijakan ekonomi yang dijuluki dengan paket September 1. Tidak hanya berhenti di paket pertama saja, pemerintah kemudian menindaklanjuti dengan mengeluarkan kembali paket kebijakan tahap 2 dan juga 3.

Berdasarkan fokus kebijakan yang diambil, utamanya pada paket pertama dan kedua, terlihat tujuan utama dari pemerintah untuk merespon kondisi saat ini adalah dengan menjaga iklim investasi. Kebijakan debirokratisasi dan deregulasi tentu membuat proses hulu penanaman modal kian kondusif. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) (dalam beritasatu.com, 03/10/2015) menilai bahwa investasi yang masuk akan mampu mengendalikan nilai rupiah, selain itu investasi juga mampu untuk membuka lapangan pekerjaan baru serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Akan tetapi, berkaca pada sejarah, pada ratusan tahun yang lalu terdapat sebuah teori ala ekonom perancis John Baptise Say yang menyatakan bahwa supply creates its own demand. Sayangnya pada masa itu pandangan tersebut justru membuat Great Depression atau kekacauan ekonomi. Hingga pada akhirnya JM Keynes menyanggah pandangan tersebut melalui karyanya The General Theory of Employment, Interest and Money.

Terefleksi dari perdebatan pemikiran ekonomi di atas, tentu perbaikan kondisi saat ini tidak serta merta dapat diselesaikan dengan pembenahan supply side semata. Perbaikan sisi permintaan dengan menjaga daya beli masyarakat agar tetap kuat dinilai juga penting dalam menjaga fundamental perekonomian dalam negeri.

Berdasarkan tren postur pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dari tahun ke tahun, diketahui bahwa proporsi kontribusi konsumsi masyarakat merupakan yang komponen yang terbesar. Untuk kuartal kedua tahun 2015 saja misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa proporsi konsumsi swasta terhadap PDB merupakan yang terbesar atau setara dengan 54,67 persen dari keseluruhan nilai kontribusi yang ada.

Besarnya sumbangsih yang diberikan oleh konsumsi privat mengindikasikan bahwa apabila daya beli masyarakat kian tergerus, pertumbuhan ekonomi akan menjadi korban utamanya. Turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar beberapa waktu belakangan tentunya tidak hanya melemahkan industri dalam negeri, masyarakat pun sedikit banyak juga terkena imbas dari situasi yang ada ini.

Hingga penantian untuk menjaga daya beli masyarakat sedikit terjawab pada tanggal 7 Oktober 2015 pada saat sosialisasi kebijakan ekonomi jilid ketiga. Meskipun premium tidak mengalami perubahan harga, bahan bakar lainnya, termasuk solar, pertalite, dan gas elpiji 12 kg mengalami penyesuaian harga. Hal ini sebenarnya merupakan sinyalmen yang baik bagi pemerintah dalam menciptakan daya beli masyarakat yang semakin kokoh.

Harga bbm merupakan salah satu indikator yang sangat kuat dalam mempengaruhi daya beli masyarakat. Kenaikan harga bbm, seperti yang beberapa waktu lalu diterapkan pemerintah dengan mengurangi alokasi subisidi, akan berdampak ke dalam banyak hal, dimulai dari naiknya harga sembako di pasar tradisional, hingga peningkatan biaya transportasi.

Dengan melakukan penijauan ulang harga keekonomian bbm tentu banyak pihak akan merasa diuntungkan. Apalagi saat ini harga barang-barang di pasar komoditas, termasuk di dalamnya minyak mentah juga ikut mengalami penurunan harga yang signifikan. Ini tentunya akan menjadi momentum besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Akan tetapi perintah untuk melakukan peninjauan ulang juga harus dikonsiderasikan dengan banyak hal. Jangan sampai terjadinya penurunan harga hanya terjadi dalam waktu yang singkat. Faktor shock terlihat masih sangat jelas dalam perekonomian di dalam negeri. Ketika harga bbm meningkat, secara spontan harga-harga kebutuhan lainnya juga ikut meningkat. Akan tetapi, ketika terjadinya penurunan harga banyak, pihak penjual barang dan jasa yang enggan untuk menurunkan harga jualnya.

Pemikiran yang matang dari stakeholders terkait dalam melakukan peninjauan kembali harga jual bbm tentu sangat diperlukan dalam kebijakan ini. Selain dengan penijauan kembali, menjaga daya beli masyarakat juga dapat dilakukan dengan percepatan penyerapan anggaran belanja, pengoptimalan cash transfer, serta pemberian kemudahan akses bagi masyarakat dalam menikmati fasilitas kredit usaha rakyat.

Dengan terjaganya daya beli masyarakat, diharapkan perekonomian dalam negeri tetap terjaga dengan baik dan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. reza@theindonesianinstitute.com

Komentar