Masih ingat dengan kebijakan diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) kendaraan bermotor? Ya, guna mendorong daya beli masyarakat dan pemulihan ekonomi nasional, pemerintah memberikan insentif berupa diskon pajak bagi konsumen yang ingin membeli mobil baru. Insentif tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.010/2021 yang selanjutnya diperpanjang melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.010/2021.
Dalam kedua peraturan tersebut, pemerintah menanggung PPnBM DTP untuk beberapa jenis mobil, diantaranya: mobil jenis sedan dan 4×2 berkapasitas mesin di bawah 1.500 cc dikenakan diskon sebesar 100 persen mulai dari bulan April – Agustus 2021 dan 25 persen sampai dengan akhir tahun 2021; mobil jenis 4×2 berkapasitas mesin 1.500 – 2.500 cc dikenakan diskon sebesar 50 persen untuk periode bulan April – Agustus 2021 dan 25 persen sampai dengan akhir tahun 2021; dan mobil 4×4 berkapasitas mesin 1.500 – 2.500 cc dikenakan diskon sebesar 25 persen untuk periode bulan April – Agustus 2021 dan 12,5 persen sampai dengan akhir tahun 2021. Namun, tidak semua kendaraan bermotor yang masuk ke dalam kategori tersebut berhak mendapatkan diskon PPnBM DTP. Hanya kendaraan bermotor yang memenuhi persyaratan pembelian lokal (local purchase) sebesar 60 persen. Dengan demikian, hanya 29 model mobil yang berhak mendapatkan diskon tersebut.
Lebih lanjut, adapun alasan pemerintah memberikan diskon PPnBM mobil baru disebabkan oleh terpukulnya industri otomotif akibat pandemi COVID-19 dengan total penurunan penjualan mobil mencapai 48,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Di sisi lain, industri otomotif merupakan salah satu industri yang penting bagi perekonomian Indonesia. Adapun nilai sumbangsih industri otomotif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1,6 persen dan mampu menyerap sebanyak 1,3 juta tenaga kerja. Oleh sebab itu, industri ini digolongkan sebagai industri yang padat karya. Lebih jauh, industri otomotif juga berkontribusi sebesar $8,16 miliar terhadap devisa ekspor dan memberikan sumbangan 4,9 persen terhadap ekspor nasional (Kemenkeu, 2021).
Di dalam logika berpikir pemerintah, pengurangan hingga pembebasan PPnBM yang membuat harga mobil baru menjadi lebih murah akan mendorong tingkat pembelian kendaraan bermotor. Diharapkan ketika permintaan meningkat, maka produksi pun akan mengikuti. Selanjutnya, beberapa sektor pendukung industri ini pun akan terdorong untuk tumbuh. Pada putaran akhirnya, pertumbuhan ekonomi pun akan mengalami kenaikan. Namun, akankah berjalan demikian?
Efektivitas Kebijakan dan Perilaku Konsumen
Beberapa bulan yang lalu, penulis membahas hal ini dalam Wacana The Indonesian Institute dan memberikan dua skenario dampak dari kebijakan ini. Pertama, masyarakat kelas menengah ke bawah akan merespons netral kebijakan ini lantaran terjadinya pelemahan daya beli yang disebabkan oleh hilangnya pendapatan masyarakat. Tahun 2020 kemarin, menurut perhitungan Office of Chief Economist Bank Mandiri, pandemi memukul semua kelompok pendapatan. Pekerja tetap terkena dampak yang relatif paling kecil, tetapi pekerja informal dan wiraswasta mengalami penurunan pendapatan yang lebih tajam, masing masing turun menjadi 60 persen dan 80 persen dari kondisi normal (Basri, 2020). Perlu menjadi catatan bahwa pendapatan menjadi salah satu determinan yang mampu menggerakkan konsumsi/belanja rumah tangga (Akekere dan Yousuo, 2012; Ezeji dan Judua, 2015). Dengan demikian, ketika pendapatan terganggu, maka konsumsi juga akan mengalami gangguan.
Kedua, jika kebijakan ini direspons oleh kelas menegah atas, senyatanya kelompok masyarakat kelas menengah atas justru sedang mengalami perubahan pola konsumsi di tengah pandemi COVID-19. Masyarakat golongan kelas menengah atas ini, justru sekarang menjadi lebih rajin menabung ketimbang berbelanja. Hal ini tercermin dari jumlah simpanan masyarakat di sektor perbankan terus menanjak. Bank Indonesia (BI) melaporkan penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) per bulan Oktober 2020 tercatat Rp6.336,5 triliun atau tumbuh 11,6 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Hal di atas semakin memperjelas bahwa ada sebuah pola konsumsi yang ditahan oleh masyarakat kelas menengah atas. Survei McKinsey (2020) juga menunjukkan bahwa 67 persen responden di Indonesia kini lebih mempertimbangkan cara mengeluarkan uang. Lalu, 59 persen mencari langkah untuk lebih menyimpan uang ketika berbelanja. Kemudian, 56 persen beralih membeli produk yang lebih murah demi menyimpan uang. Dengan konfigurasi ini, maka kebijakan pemberian diskon PPnBM Mobil Baru menjadi tidak ‘nendang’ lantaran daya beli masyarakatnya menurun.
Namun, nyatanya dugaan penulis tersebut salah. Pemberian insentif ini direspons positif. Setelah diberlakukannya insentif PPnBM tersebut, terlihat perbedaan pertumbuhan yang signifikan, di mana total penjualan mobil penumpang yang mendapatkan insentif tumbuh sebesar 72 persen year on year (yoy). Sementara, yang tidak mendapatkan insentif hanya tumbuh sebesar 43 persen yoy. Perbedaan tersebut menyebabkan market share mobil penumpang yang mendapatkan PPnBM DTP meningkat dari 59 persen menjadi 64 persen selama periode bulan Januari – Juli 2021 (Mandiri Institute, 2021).
Trade Off Kebijakan
Dengan demikian, konfigurasi kebijakan ini akan membawa trade off yang tidak mudah khususnya bagi penerimaan pemerintah. Diproyeksikan pemberian diskon PPnBM mobil baru akan mengurangi potensi penerimaan pemerintah. Padahal, di tahun 2019 PPnBM menyumbang Rp15,6 triliun penerimaan pemerintah.
Dengan diberlakukannya kebijakan diskon PPnBM mobil baru, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) memproyeksikan pemerintah akan kehilangan potensi penerimaan hingga mencapai 15 persen (Kemenkeu, 2021). Bahkan dikutip dari beberapa sumber berita, pemerintah diperkirakan akan mengalami potential loss hingga Rp2,3 triliun. Tentu saja angka ini bukanlah angka yang sedikit terlebih di tengah situasi krisis, yang membutuhkan penerimaan bagi anggaran negara yang lebih banyak guna membiayai ongkos pandemi COVID-19 yang belum berakhir ini.
Tidak sampai di situ, trade off kebijakan ini juga akan membawa konsekuensi yang tidak mudah khususnya terhadap lingkungan. Dengan logika berpikir bahwa ketika harga diturunkan, maka akan meningkatkan permintaan terhadap mobil, hal ini akan berimplikasi terhadap kenaikan jumlah kendaraan di Indonesia yang berpotensi membawa eksternalitas negatif bagi lingkungan, seperti kemacetan dan polusi udara. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah kendaraan bermotor jenis mobil penumpang mencapai 15.592.419 unit di seluruh Indonesia. Dengan demikian, diproyeksikan jumlah kendaraan bermotor jenis mobil penumpang ini akan mengalami kenaikan yang cukup signifikan di masa mendatang.
Dengan konfigurasi problematika di atas, maka pemerintah harus siap memitigasi dampak negatif kebijakan ini. Jangan sampai kebijakan ini membawa cost yang lebih besar alih-alih mendorong daya beli masyarakat dan memulihkan perekonomian nasional. Jadi, bagaimana pemerintah?
Muhamad Rifki Fadilah,
Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute,