Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan hasil rekapitulasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, pada hari Selasa (21/5/2019) dini hari. Berdasarkan rekapitulasi tersebut, KPU menyatakan tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 mencapai 81 persen.
Komisioner KPU Viryan Azis menyebutkan, partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 meningkat dibandingkan pemilu sebelumnya. Jika dibandingkan tahun 2014, peningkatan angka partisipasi hampir 10 persen. Viryan menyatakan angka partisipasi 81 persen tersebut melampaui target nasional dari KPU yang menargetkan partisipasi di angka 77,5 persen. Menurut data yang dihimpun KPU, jumlah pemilih Pemilu 2019 yang berada di dalam maupun luar negeri mencapai 199.987.870. Sementara, pemilih yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 158.012.506 (kompas.com, 27/5).
Peningkatan partisipasi pada Pemilu 2019 menjadi catatan positif, ditengah rapor merah penyelenggaraan pemilu yang dianggap tidak efisien dan memakan korban jiwa petugas KPPS.
Bahkan jauh sebelum pelaksanaan pencoblosan suara, Pemilu 2019 dibayang-bayangi oleh rendahnya partisipasi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya gerakan yang mengajak untuk tidak memilih atau “Golput”. Gerakan tersebut diinisiasi oleh beberapa kelompok seperti Komunitas ‘Saya Milenial Golput’ (SGM) serta ‘Koalisi Masyarakat Sipil’. Walaupun pada kenyataannya gerakan ini tidak terlalu signifikan dalam mempengaruhi pemilih untuk golput.
Melihat meningkatnya angka partisipasi pemilih pada Pemilu 2019, penulis mencoba menganalisa hal ini dengan mengutip pendapat Ramlan Surbakti (1992) tentang dua variabel penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik.
Variabel pertama, tingkat kesadaran politik yaitu kesadaran hak dan kewajiban warga negara. Selanjutnya variabel kedua, menyangkut penilaian warga negara terhadap kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pemerintahnya.
Mengacu kepada dua variabel tersebut, penulis menilai bahwa meningkatnya angka partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 menandakan semakin tingginya kesadaran politik warga negara tentang hak dan kewajibannya. Hak dan kewajiban warga negara dalam bidang politik salah satunya diimplementasikan melalui berpartisipasi dalam pemilu.
Kemudian jika mengacu pada variabel kedua, tentang penilaian pemilih terhadap kinerja pemerintahan. Penulis berpendapat hal ini dipengaruhi oleh adanya pembelahan pendukung kedua calon presiden dan wakil presiden.
Bagi pendukung Joko Widodo (Jokowi) – KH Maaruf Amin yang juga petahana, maka penilaian pemilih akan menilai kinerja pemerintahan Jokowi sangat baik dan perlu dilanjutkan pada periode kedua. Sedangkan di kubu pendukung Prabowo Subianto – Sandiaga Uno, pemilihnya akan menilai kinerja pemerintahan sangat buruk, sehingga perlu diganti.
Berdasarkan kedua penilaian kedua pendukung tersebut, maka para pemilih harus menunaikan tugasnya dengan menggunakan hak pilihnya demi memperjuangkan calon pilihannya. Besarnya animo kedua pendukung dalam Pilpres tersebut, pada akhirnya meningkatkan angka partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2019.
Di sisi lain, penulis juga mengutip pendapat McClosky (1972) tentang partisipasi politik merupakan kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui proses pemilihan penguasa. Dengan demikian, baik langsung maupun tidak langsung, partisipasi politik juga merupakan bagian dalam proses pembentukan kebijakan umum.
Berdasarkan pendapat tersebut, penulis berpendapat bahwa meningkatnya angka partisipasi masyarakat pada Pemilu 2019 juga perlu diikuti dengan peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan lima tahun kedepan.
Partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan tersebut, bukan hanya ditingkat nasional melainkan di semua tingkat pemerintahan. Ruang partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dapat dilakukan, misalnya, melalui musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang selama ini diterapkan.
Diharapkan juga agar partisipasi masyarakat bukan hanya berhenti pada proses pembuatan kebijakan, namun juga pada aspek pengawasan terhadap implementasi kebijakan pemerintah lima tahun ke depan. Dengan demikian, produk kebijakan yang dihasilkan oleh para pejabat yang dipilih oleh rakyat akan bersifat inklusif, akuntabel, relevan, dan transparan.
Arfianto Purbolaksono
Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research