Menilik Usulan Penundaan Pilkada Serentak 2024

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia Rahmat Bagja mengusulkan untuk membahas opsi penundaan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024. Hal ini karena terdapat sejumlah potensi masalah yang akan muncul apabila Pilkada Serentak dilaksanakan sesuai jadwal yang sudah ditetapkan, yaitu pada 27 November 2024.

Rahmat Bagja menyatakan permasalahan pertama yang akan muncul adalah terganggunya tahapan Pilkada Serentak karena pelaksanaannya beririsan dengan gelaran Pemilu 2024. Presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu 2024, yang baru akan dilantik pada bulan Oktober 2024, tepat satu bulan sebelum pilkada (Republika.co.id, 13/7).

Permasalahan kedua, potensi gangguan keamanan yang tinggi dalam gelaran Pilkada Serentak 2024. Hal ini disebabkan karena aparat keamanan tidak bisa diperbantukan ke daerah yang sedang mengalami gangguan keamanan, karena aparat fokus menjaga daerah masing-masing yang juga sedang menggelar Pilkada. Potensi gangguan keamanan saat pergantian tampuk kepemimpinan pemerintahan pusat inilah yang membuat Bagja mengusulkan agar opsi penundaan Pilkada Serentak 2024 untuk dibahas (Republika.co.id, 13/7).

Menyikapi usulan Ketua Bawaslu tersebut, seyogyanya usulan ini berangkat dari upaya membangun manajemen Pemilu yang baik. Penyelenggaraan Pemilu membutuhkan manajemen yang baik sebagai bagian dari implementasi aturan Pemilu. Proses tahapan Pemilu dari pendaftaran pemilih hingga penghitung suara perlu dilakukan dengan manajemen yang baik. Untuk itu, perlu dilakukan mitigasi risiko dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024.

Hasil kajian The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (2022) mencatat sejumlah persoalan dalam penyelenggaraan Pemilu, yang terbagi atas faktor internal dan faktor eksternal. Pada faktor internal, persoalan-persoalan yang dihadapi oleh penyelenggara Pemilu terkait dengan persoalan kejelasan kerangka hukum, persoalan pendaftaran pemilih, persoalan anggaran, persoalan sumber daya manusia petugas penyelenggara pemungutan suara, persoalan hoaks dan ujaran kebencian dalam kampanye, serta persoalan rumitnya desain surat suara yang menghambat pelaksanaan pemungutan suara.

Pada faktor eksternal, munculnya ancaman keamanan dari aktor bersenjata bukan negara di wilayah rawan konflik akan mengganggu penyebaran logistik maupun pemungutan suara, termasuk persoalan COVID-19, serta perkembangan platform media sosial yang digunakan untuk penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian.

Berdasarkan pemetaan permasalahan di atas, perlu dilakukan mitigasi risiko dalam penyelenggaraan Pilkada 2024, termasuk dalam mengkaji usulan penundaan Pilkada 2024. Risiko yang dapat diidentifikasi terjadi dari tahap penyusunan kerangka hukum hingga proses pemungutan dan penghitungan suara. Risiko-risiko ini jika tidak diantisipasi sejak awal dan tidak dapat diatasi di kemudian hari, akan mengakibatkan menurunnya kualitas dan integritas penyelenggaraan Pilkada 2024. Penyelenggaraan Pilkada yang buruk akan menyebabkan rendahnya kepercayaan peserta maupun pemilih, terutama mengingat proses penentuan waktu Pilkada 2024 sebenarnya sudah dibahas sebelumnya, sehingga menjadi pertanyaan publik ketika ada usulan penundaan.

Untuk itu, terdapat beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan menyikapi usulan penundaan Pilkada 2024. Pertama, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Komisi Pemilihan Umum, Bawaslu, dengan mengikutsertakan Kepolisian Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) perlu memetakan dan memitigasi risiko penyelenggaraan Pilkada 2024, terutama terkait ancaman keamanan jika tetap dilakukan sesuai jadwal dan membuat beberapa opsi pilihan kebijakan yang akan diambil dan diputuskan bersama.

Kedua, DPR, Pemerintah, KPU dan Bawaslu membuat payung hukum jika disepakati opsi penundaan Pilkada. Payung hukum ini penting untuk dibuat agar tidak berbenturan dengan aturan sebelumnya yang telah mengatur jadwal penyelenggaraan dan teknis penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024. Ketiga, penyelenggara Pemilu baik KPU dan Bawaslu memperkuat sosialisasi kepada aparatur di tingkat daerah dan peserta Pilkada terkait jadwal penundaan dan aturan teknis dalam penyelenggaraan Pilkada.  Keempat, KPU, Bawaslu dan bersama dengan Komisi II DPR RI beserta Kementerian Keuangan perlu mempertimbangkan jumlah dan alokasi anggaran pengamanan penyelenggara Pilkada.

Kelima, peningkatan sumber daya manusia penyelenggara Pilkada, di tingkat KPU, KPUD hingga KPPS. Optimalisasi pelatihan penting dilakukan, termasuk dalam penyampaian materi pelatihan yang dapat mengatasi persoalan pada saat hari pemungutan, penghitungan, dan pengawasan suara. Misalnya, dengan memberikan pelatihan administrasi pemungutan dan penghitungan, serta pengawasan suara, serta pelatihan penggunaan sistem informasi dalam rangka penghitungan suara. Selain pelatihan, KPU juga perlu untuk menambah anggaran pelatihan agar semua anggota KPPS dapat mengikuti pelatihan dan mendapatkan pengetahuan terkait pemungutan dan penghitungan suara.

 

 

Arfianto Purbolaksono

Manajer Riset dan Program

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Reearch (TII)

arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar