Masih ingat dengan bunga kredit single digit yang dinanti-nanti dunia usaha dan dijanjikan pemerintah sejak dua tahun silam? Iya, nyatanya usaha pemerintah untuk mewujudkan mimpi tersebut tidak main-main. Melalui kebijakan moneter BI, BI mengerek turun BI rate. tercatat pada bulan Juni 2016 lalu, suku bunga acuan dipangkas menjadi 4,75%. Sejak itu, BI konsisten memangkas suku bunga acuan. Kemudian, pada Agustus 2017, BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) dikerek turun lagi menjadi 4,50%. Dan terakhir, suku bunga acuan kembali turun menjadi 4,25% pada September 2017 yang merupakan level terendah sepanjang sejarah. (Bank Indonesia, 2017).
Kendati bunga acuan sudah turun beberapa level, namun bunga kredit single digit tak kunjung nampak, tak heran banyak pihak menilai jika bunga kredit single digit hanyalah sebuah harkos atau harapan kosong karangan pemerintah. Namun, perlu menjadi catatan bersama bahwa kendati suku bunga acuan sudah turun, namun faktanya, perbankan tidak mengerek secara proporsional suku bunga pinjaman dan suku bunga simpanan. Intinya, derajat pass-through suku bunga acuan ke dalam suku bunga perbankan berjalan tidak sempurna.
Banyak perbankan yang masih persisten dalam mengubah suku bunganya mengkuti suku bunga acuan, alhasil mimpi bunga kredit single digit pun mengalami banyak cobaan. Kini, harapan itu nyatanya semakin berliku dan menukik tajam, tercatat sejak awal tahun 2018, BI berbalik arah mengubah rezim bunga rendah menjadi rezim bunga tinggi sebagai respons atas kebijakan The Fed yang terus menaikkan suku bunga acuan.
Tahun 2018 kemarin, Bank Sentral AS menaikkan empat kali Fed Funds Rate (FFR) dari 1,50- 1,75% menjadi 2,25-2,50% yang bertahan hingga kini. Kenaikan FFR tentu saja memicu pergolakan di pasar finansial global. Dana-dana asing di emerging markets, termasuk Indonesia, sebagai imbasnya tersedot ke negeri Paman Sam. Hasilnya, nilai tukar rupiah melemah 6,4%, indeks harga saham gabungan (IHSG) rontok 2,54%, dan investor asing di pasar saham mencatatkan penjualan bersih (net sell) Rp 50,75 triliun
Alhasil, pada Mei 2018, BI 7-DRRR kembali dinaikkan menjadi 4,50%, untuk selanjutnya naik bertahap ke level 6% pada November 2018 hingga sekarang dengan total frekuensi kenaikan suku bunga sebanyak enam kali dengan akumulasi 175 basis poin.
BI mau tidak mau memang harus melakukan skenario pengamanan dengan menaikkan BI 7-DRRR guna memagari rupiah dan membendung arus modal keluar (capital outflow). Dengan begitu, suku bunga di dalam negeri tetap menarik yang pada gilirannya diharapkan mampu mengerem pelarian modal (capital flight).
Apakah itu berarti keinginan pemerintah agar perbankan mematok suku bunga kredit single digit hanya benar-benar sebuah harapan kosong? Memang momentum rezim suku bunga rendah mungkin sudah lewat, terutama setelah The Fed menaikkan FFR hingga empat kali sepanjang tahun 2018 kemarin. Namun, bukan berarti harapan untuk menikmati suku bunga kredit single digit sudah padam.
Jika kita lihat, tahun ini The Fed diperkirakan hanya menaikkan FFR dua kali. Bahkan, belakangan ini muncul analisis baru bahwa FFR pada 2019 kemungkinan tidak naik sama sekali. Perkiraan itu didasarkan pada data-data ekonomi AS yang belum sesuai harapan, seperti pertumbuhan ekonomi AS pun melambat dipengaruhi oleh terbatasnya stimulus fiskal, permasalahan struktural tenaga kerja, dan menurunnya keyakinan pelaku usaha. Inilah yang bakal menghambat nafsu The Fed untuk mengerek suku bunga. (Beritasatu.com 12/3).
Di lain sisi, pertumbuhan ekonomi Eropa juga melambat, antara lain dipengaruhi oleh berlanjutnya permasalahan struktural ekonomi dan keuangan, pelemahan ekspor, dan dampak ketidakpastian penyelesaian masalah Brexit. Selain itu, ekonomi terbesar kedua dunia, China, tetap melambat akibat melemahnya ekspor menyusul ketegangan perdagangan dengan AS dan melambatnya permintaan domestik sebagai dampak proses deleveraging yang masih berlangsung. Sejalan dengan prospek pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, harga komoditas global tahun ini diprediksi menurun, termasuk harga minyak mentah.
Alhasil, The Fed kini sedang berupaya menggunakan instrumen lain untuk menyedot likuiditas di pasar, misalnya merampingkan neraca keuangannya dengan cara melepas surat-surat berharga ke pasar. Dengan posisi FFR yang seolah “terkunci” di level 2,25-2,50%, pasar finansial akan bergerak lebih tenang dan terukur. Pasar saham dan valas tidak akan bergejolak seperti beberapa tahun silam. Para fund manager global bisa lebih nyaman memompakan kembali dana-dananya ke luar AS, sehingga nilai tukar negara-negara emerging markets menguat dan stabil.
Jika terbukti benar bahwa The Fed tahun ini kemungkinan tidak menaikkan FFR tentu bisa menjadi angin segar bagi perekonomian nasional. Posisi FFR yang stagnan tahun ini bisa menjadi kabar gembira bagi sektor rill dan dapat menjadi sumber sentimen positif bagi pasar finansial. Sektor riil akan ikut menikmati FFR yang tidak naik, apalagi bila sampai turun.
Dengan probabilitas FFR yang stagnan, penulis berpendapat agar BI seharusnya tidak menaikkan BI 7-DRRR dan menjadikan ini sebuah momentum BI untuk menurunkan suku bunga acuan yang akan bergulir ke bunga kredit menuju level single digit yang lebih ramah dengan sektor riil. Pada akhirnya, bila sektor riil berputar lebih kencang, pertumbuhan ekonomi nasional melaju lebih pesat.
Dari dalam negeri kita bisa melihat bahwa margin bunga bersih (net interest margin/NIM) rata-rata perbankan yang telah berangsur turun ke angka 4,85% pada tahun 2018 kemarin. Alhasil, ini merupakan peluang emas untuk mengerek turun bunga kredit.
Selain itu, BI juga harus terus meningkatkan efisiensi dan meningkatkan pendapatan lain, seperti pendapatan non-bunga (fee based income) guna membantu mengkatrol penurunan suku bunga. Sembari juga membenahi persoalan derajat passthrough perbankan agar tidak terlalu rigid seperti tahun-tahun sebelumnya.
Menurunkan suku bunga acuan ke level yang lebih pro-sektor riil tidak boleh abaikan lagi. Ini merupakan momen “cantik” BI mengejar (lagi) mimpi bunga kredit single digit yang diidam-idamkan. Apalagi jika dikaitkan dengan tekad pemerintah dan BI untuk menjaga inflasi tetap rendah, mengatasi defisit neraca transaksi berjalan, mengawal penguatan rupiah, menggenjot ekspor, dan meningkatkan investasi langsung.
Muhamad Rifki Fadilah, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, rifki@theindonesianinstitute.com