PERBINCANGAN terkait pengangkatan sejumlah penjabat kepala daerah menyeruak pasca-pelantikan lima penjabat gubernur dan empat puluh tiga penjabat bupati dan wali kota sepanjang Mei 2022. Pelantikan yang dilakukan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian tersebut dilakukan tanpa ketersediaan peraturan pemerintah yang mumpuni, sebagaimana perintah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 67/PUU-XIX/2021 yang kembali dipertegas oleh putusan Nomor 15/PUU-XX/2022.
MK melalui putusannya meminta pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut ketentuan tentang penjabat kepala daerah dalam Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Peraturan itu diminta untuk menyediakan mekanisme dan persyaratan yang terukur, sehingga pengangkatan penjabat kepala daerah tidak berbenturan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Sayangnya, peraturan yang diperintahkan MK itu tak kunjung ada hingga dilantiknya 48 penjabat kepala daerah. Pemerintah hanya berpegang pada ketentuan Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pilkada yang menyatakan, kekosongan jabatan gubernur dapat diisi penjabat yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya.
Sementara untuk mengisi kekosongan jabatan bupati atau wali kota, dapat diisi penjabat dari jabatan pimpinan tertinggi pratama. Proses pemilihan dimulai dari Kemendagri yang akan memberikan tiga nama calon penjabat gubernur kepada presiden. Kemudian, presiden akan memilih penjabat gubernur.
Sedangkan untuk penjabat bupati dan wali kota akan dipilih langsung oleh Kemendagri berdasarkan usulan dari gubernur.
Celah masalah
Celah masalah muncul dari ketiadaan prasyarat lain yang harus dipenuhi calon penjabat kepala daerah selain jabatan pimpinan tinggi aparatur sipil negara (ASN). Ketika tidak terdapat kejelasan indikator pemilihan, akan menjadi sebuah pertanyaan besar bagaimana cara presiden dan mendagri menetapkan orang yang akan dipercaya untuk menjadi penjabat kepala daerah.
Ketidakjelasan metode pemilihan hingga keputusan akhir yang hanya berada di tangan pemerintah pusat akan mengancam prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Penundaan penyelenggaraan pilkada tahun 2022 dan 2023 sebagaimana amanat UU Pilkada menjadi satu hal yang harus diterima sebagai konsekuensi agar Pilkada Serentak 2024 dapat dilaksanakan.
Pengangkatan penjabat kepala daerah juga merupakan sebuah solusi untuk mengisi kekosongan kepemimpinan di beberapa provinsi, kabupaten, dan kota.
Namun, menjadikan dua hal tersebut sebagai alasan pembenar sentralisasi kewenangan pemilihan penjabat kepala daerah hanya kepada pemerintah pusat merupakan sebuah kekeliruan. Tidak dapat diberikan pemakluman terhadap mekanisme pemilihan penjabat kepala daerah yang tidak transparan dan tanpa partisipasi publik yang lebih luas.
Meskipun berada dalam keadaan di luar kebiasaan, tetapi pemerintah tidak dapat mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dalam memilih individu yang akan menjadi pemimpin di sebuah daerah.
Ketika hal ini tetap dibiarkan, maka pengisian jabatan kepala daerah di Indonesia hari ini tak ubahnya dengan yang dilakukan pemerintahan Orde Lama. Pasal 4 Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah menjelaskan, kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh presiden bagi daerah tingkat I (saat ini provinsi) dan menteri dalam negeri dan otonomi daerah bagi daerah tingkat II (saat ini kabupaten/kota).
Proses awalnya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) akan mengajukan calon-calon kepala daerah yang kemudian masing-masing diangkat oleh presiden dan menteri dalam negeri dan otonomi daerah. Meskipun berada di tengah-tengan Demokrasi Terpimpin yang cenderung sentralistik, tetapi masih terdapat pelibatan DPRD dalam proses pencalonan, meskipun keputusan awal tetap berada di tangan pemerintah pusat.
Keberadaan sebuah peraturan pelaksana terkait pengangkatan penjabat kepala daerah sebagaimana yang diperintahkan Putusan MK 15/PUU-XX/2022 menjadi hal yang penting. Pada bagian pertimbangan hukum, MK telah menjelaskan bahwa pemerintah perlu menyediakan aturan yang memuat mekanisme dan persyaratan dalam memilih calon penjabat kepala daerah.
Penetapan harus terbuka dan akuntabel
Pengisian penjabat juga harus dilakukan secara terbuka dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus demi rakyat dan kemajuan daerah. Peraturan pelaksana terkait pemilihan penjabat kepala daerah hendaknya juga dilengkapi dengan mekanisme hubungannya dengan DPRD.
Penjabat yang berasal dari ASN (aparatur sipil negara) serta tidak memiliki kekuatan politik di parlemen daerah berpotensi mereduksi check and balances antara eksekutif dan legislatif. Hal tersebut dibutuhkan karena terdapat keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh penjabat kepala daerah, sehingga mereka tidak dapat bergerak seleluasa kepala daerah yang dipilih melalui pilkada.
Pasal 132A ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah melarang penjabat daerah untuk melakukan mutasi pegawai; membatalkan perizinan yang telah ada; hingga membuat kebijakan tentang pemekaran daerah. Namun, larangan tersebut dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari mendagri.
Pengecualian inilah yang akan membuat ketidakseimbangan hubungan antara penjabat kepala daerah dengan DPRD. Peran mendagri yang dapat memberikan persetujuan terhadap beberapa keputusan krusial seperti membatalkan maupun membuat perizinan baru yang bertentangan dengan keputusan kepala daerah sebelumnya akan membuat pemerintah pusat memiliki kekuatan yang sangat besar untuk memengaruhi dinamika pemerintahan daerah.
Oleh karena itu, peraturan pelaksana yang harus dibuat oleh pemerintah berdasarkan putusan MK tidak hanya terkait mekanisme pengangkatan penjabat kepala daerah, tetapi juga mereduksi kekuasaan pemerintah pusat dan memberikan kewenangan yang lebih baik kepada penjabat yang telah dilantik.
https://nasional.kompas.com/read/2022/06/14/15365851/meneropong-pengangkatan-penjabat-kepala-daerah?page=all#page2