Mencegah Pembusukan Omnibus Law

Menjelang pertengahan tahun 2020, tema perbincangan omnibus law  nampaknya kian menghangat.  Terlebih jika hal ini dikaitkan dengan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, yang per 12 Februari lalu telah dirampungkan oleh Pemerintah dan diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dibahas lebih lanjut.

Dalam berbagai ruang perdebatan dan pemberitaan, draf RUU ini dapat diperhatikan tidak henti-hentinya dipermasalahkan. Hal ini bahkan dilakukan jauh-jauh hari sebelum draf tersebut masih berjudul “Cipta Lapangan Kerja”.

Bagaimana tidak, selain kontroversial karena disusun menggunakan konsep omnibus law yang masih terdengar asing, draf tersebut juga dapat dikatakan problematis baik dari sisi proses penyusunan maupun dari sisi substansi atau materi muatannya.

Publik tentunya belum lupa, bagaimana draf ini sebelumnya tidak dapat diakses secara langsung oleh publik namun secara tiba-tiba tersebar begitu saja di awal tahun 2020. Begitu juga dengan sejumlah pemberitaan, yang mewartakan bahwa salah satu dari tim satuan tugas draf RUU tersebut telah datang berkonsultasi dan mengadu ke Ombudsman, atas surat persetujuan yang diminta untuk ditandatangani agar merahasiakan materi dan isi drafnya (nasional.tempo.co, 15/02).

Meski draf yang sebagaimana beredar pada saat itu belum dapat dikatakan utuh dan sempurna, namun hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang. Seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2011) dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 12 Tahun 2011, yang mengamanatkan asas keterbukaan terhadap penyebarluasan suatu RUU bahkan sejak dari proses atau tahap penyusunannya.

Permasalahan yang tidak jauh berbeda, pun dapat ditelaah dari sisi substansi atau materi muatannya. Atas nama investasi, sejumlah pengaturan bermasalah terang dapat ditemukan dalam draf awalnya yang beredar per 25 November 2019. Mulai dari ketentuan upah per jam yang menggerus hak-hak dan kepastian hukum tenaga kerja, penghapusan sejumlah izin lahan dan lingkungan, dihidupkannya beberapa ketentuan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, hingga menyerempet pada ketentuan yang berpotensi membredel kebebasan pers melalui kenaikan nominal pidana denda terhadap perusahaan pers.

Sejumlah permasalahan yang ada diatas, wagunya lebih menjadi-jadi dalam draf versi 12 Februari 2020, atau yang sebagaimana telah diserahkan kepada DPR. Hal ini dapat dilihat dengan adanya ketentuan dalam Pasal 170, yang mengatur mekanisme perubahan undang-undang dengan cara yang tak lazim hanya dengan menggunakan peraturan pemerintah saja. Ketentuan ini, jelas secara terang-terangan mendobrak logika hukum dan menyimpang dari doktrin hierarki peraturan perundang-undangan.

Belum lagi jika melihat banyaknya peraturan pelaksana yang diamanatkan harus terbentuk oleh draf RUU tersebut. Jika disisir pasal demi pasal, setidaknya terdapat amanat pembentukan 493 peraturan pemerintah, 19 peraturan presiden, dan 4 peraturan daerah (PSHK, 2020). Kesemua peraturan ini, menariknya diatur oleh Pasal 173 huruf a wajib dibentuk paling lama 1 bulan, atau dengan kalkulasi sebanyak 17 peraturan per harinya jika resmi disetujui.

Selain terlihat nyaris mustahil dilaksanakan, hal ini tentunya juga telah menyalahi konsep omnibus law itu sendiri. Sebab tujuan dari metode penyusunan ini, pada dasarnya ialah untuk menyederhanakan kesemrawutan peraturan perundang-undangan yang ada. Bukan untuk memperumit, apalagi memperkeruh kondisi peraturan perundang-undangan yang saat ini tengah mengalami obesitas.

Demikian, wajar saja apabila RUU ini ramai menuai protes dan penolakan. Sayangnya, yang luput diilhami bagi sebagian orang ialah perlunya memisahkan atau memberi garis demarkasi yang jelas untuk membedakan penggunaan term omnibus law sebagai konsep dan RUU Cipta Kerja sebagai produk yang disusun dengan konsep tersebut. Berbagai narasi penolakan yang selama ini terbangun, dapat diperhatikan cenderung menyamakan bahkan menggunakan sebagai sesuatu yang mesti ditolak.

Hal ini, tentunya tidak hanya menimbulkan ambiguitas tersendiri terhadap narasi tersebut, namun secara tidak langsung juga telah memojokkan sekaligus mengkambinghitamkan term omnibus law atas RUU Cipta Kerja sebagai produk yang gagal disusun dengan prosedur dan substansi yang sesuai. Meski terdengar agak klise, berbagai aksi penolakan ke depan baiknya hanya menggunakan term RUU Cipta Kerja saja. Hal ini setidaknya diperlukan, guna untuk menjernihkan dan menghindari terjadinya peyorasi atau pembusukan makna atas term omnibus law di pandangan awam.

Komentar