Beberapa waktu lalu publik diramaikan dengan polemik mengenai adanya potensi kecurangan pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024. Polemik ini muncul setelah Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), berpidato di acara Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat, pada 15 September 2022. SBY mengaku mendengar kabar ada tanda-tanda bahwa Pemilu 2024 akan diselenggarakan dengan tidak jujur dan adil. SBY mengatakan, karena adanya informasi tersebut, ia mesti turun gunung untuk menghadapi Pemilu 2024. (kompas.com, 19/9/2022).
Menyikapi hal ini, Rahmat Bagja selaku Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memprediksi kecurangan dan pelanggaran pada tahun 2024 akan tetap ada dan tidak mungkin hilang (bawaslu.go.id, 29/9/2022). Bahkan sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa Pemilu dari waktu ke waktu tidak bisa lepas dari proses kecurangan. Kecurangan pemilu selalu ada sejak era sebelum reformasi hingga pasca reformasi seperti saat ini. Perbedaanya terletak pada pelaku kecurangan pemilu. Kalau jaman sebelum reformasi kecurangan bersifat vertikal terjadi antara pemerintah dan penyelenggara yakni Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPU) karena sudah dipastikan pemenangnya adalah Partai Golkar. Kalau saat ini kecurangan terjadi secara horizontal atau antar partai peserta pemilu (mediaindonesia.com, 24/6/2022).
Lebih lanjut Mahfud menuturkan, bentuk-bentuk kecurangan dalam pemilu yang saat ini perlu diantisipasi ialah kecurangan yang terjadi antar kontestan. Seperti jual beli suara, politik uang, pengubahan suara, pemalsuan tanda tangan. Kecurangan-kecurangan tersebut selalu terjadi baik dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) hingga pemilihan legislaitf (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres). Oleh sebab itu, menurut Mahfud pemilu dan kecurangan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Akan selalu ada tuduhan-tuduhan kecurangan yang disampaikan kepada penyelenggara pemilu dalam hal ini ialah Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga pengaduan ke Bawaslu (mediaindonesia.com, 24/6/2022).
Perdana (2020) menyebutkan ada tiga penyebab masih terjadinya kecurangan dalam pemilu di Indonesia. Pertama, relasi patronase yang kuat di antara para penyelenggara pemilu, calon legislatif (caleg) dan pemilih. Patronase politik adalah penggunaan sumber daya untuk memberikan imbalan kepada individu yang telah memberikan dukungan elektoral. Setiap caleg atau pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) merasa perlu untuk mengeksploitasi relasi personal, patronase, ataupun kekerabatan demi kemenangan yang ingin diperoleh. Relasi yang terbangun ini melibatkan hal-hal material dan non-material sebagai bahan transaksi di antara para aktor tersebut.
Kedua, sistem pemilu yang ada mendorong caleg menghalalkan segala cara untuk menang. Sistem pemilu legislatif Indonesia adalah open list proporsional representation, yaitu seorang caleg dapat terpilih karena mendapatkan suara terbanyak dalam daftar terbuka di partainya. Dalam sistem tertutup – yang pernah digunakan di pemilu sebelum 2004, terpilihnya seorang caleg ditentukan sepenuhnya oleh partai politik. Sistem ini mendorong para caleg berlomba-lomba mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya. Salah satu akibatnya, kompetisi para caleg di internal partai sangat ketat dan keras (Perdana, 2020).
Ketiga, masih lemahnya sistem pendukung dalam pemilu kita yang dapat membuka celah terciptanya manipulasi suara. Manipulasi terjadi paling tidak pada dua hal, yakni data pemilih dan rekapitulasi penghitungan suara berjenjang. Data pemilih dalam setiap pemilu kita selalu menjadi masalah serius karena data tidak pernah akurat. Sementara itu, rekapitulasi penghitungan berjenjang masih membuka peluang adanya kesalahan penghitungan dan berujung manipulasi hasil perolehan suara. Masih ada celah, misalnya, untuk mengubah angka penghitungan suara di tingkat TPS hingga kecamatan (Perdana, 2020).
Berdasarkan paparan di atas, tulisan ini mencoba mengelaborasi agar peluang kecurangan dapat diantisipasi. Pertama, Dibutuhkan pengawasan oleh Bawaslu dan dibantu oleh kelompok masyarakat sipil untuk mencegah adanya transaksi antara penyelenggara pemilu dengan peserta pada tahapan pemungutan hingga penghitungan suara agar tidak terjadi penyelewengan suara.
Kedua, penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu harus memaksimalkan keterbukaan data (open data) pemilu untuk mencegah kecurangan pada Pemilu 2024. Jika mengacu pada konsep dari National Democratic Institute (NDI) (2014), terdapat 16 data kunci yang diharapkan dapat terbuka seperti; kerangka hukum; peta dapil; profil penyelenggara pemilu di setiap tingkatan; catatan proses yang dijalankan penyelenggara pemilu.
Selanjutnya, data terkait keamanan pemilu; partai politik peserta pemilu; profil calon anggota legislatif; kampanye peserta pemilu; dana kampanye peserta pemilu; proses pendaftaran pemilu; daftar pemilih; sosialisasi dan pendidikan pemilih; tempat pemungutan suara; hasil pemilu; teknologi pemungutan dan penghitungan suara elektronik; laporan perselisihan dan penyelesaian sengketa pemilu.
Keterbukaan data pemilu diharapkan, pertama, dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sehingga pemilu menjadi lebih berintegritas. Kemudian, dengan keterbukaan data pemilu maka mendorong peningkatan partisipasi masyarakat, termasuk dalam mengawasi dan melaporkan jika ada pelanggaran pemilu. Partisipasi masyarakat dalam pengawasan ini sangat penting untuk mencegah kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara maupun peserta pemilu.
Arfianto Purbolaksono
Manajer Riset dan Program