Jelang Pemilu 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) merencanakan untuk melakukan penyederhanaan desain surat suara. Terdapat beberapa alasan mengapa hal ini perlu untuk dilakukan. Pertama, berkaca pada pemilu tahun 2019, maka beban kerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dirasa cukup tinggi yang berdampak pada kelelahan baik secara fisik maupun non-fisik bahkan hingga meninggal dunia (KPU, 2021)
Kedua, tingginya angka surat suara yang tidak sah pada pemilu tahun 2019, yaitu 2,3% atau sebanyak 3.754.905 suara untuk pemilu presiden; 11,12% atau 17.503.953 suara untuk pemilu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI); dan 19,02% atau 29.710.175 suara untuk pemilu Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Banyaknya surat suara tidak sah ini disinyalir karena kesulitan dan kebingungan pemilih dalam memberikan suara. Hal ini diperkuat dengan hasil survei dari Pusat Penelitian Ilmu Politik LIPI bahwa 74% responden mengatakan bahwa pemilu serentak dengan mencoblos lima surat suara (Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) menyulitkan pemilih (LIPI, 2019).
Ketiga, menyulitkan dan memerlukan waktu yang lama bagi pemilih untuk membuka, lalu melipat surat sura dan kemudian dimasukan ke dalam kotak. Hal ini dikarenakan jumlah surat suara yang terlampau banyak (KPU, 2021)
Keempat, efisiensi anggaran. Seperti yang diketahui bersama bahwa salah satu argumen utama mengapa pemilu diselenggarakan secara serentak adalah untuk menghemat biaya pemilu yang cukup besar jika dilaksanakan sendiri-sendiri (KPU, 2021)
Tiga Pilihan Desain Surat Suara
Terdapat tiga pilihan desain surat suara. Pilihan desain pertama adalah penggabungan lima jenis pemilihan dalam satu surat suara. Pada model ini, pemilih tidak akan mencoblos pilihan seperti pemilu-pemilu sebelumnya, melainkan menuliskan nomor urut calon pada kolom yang telah disediakan. Seluruh kandidat, baik calon presiden dan wakil presiden, daftar calon tetap (DCT) Anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota ditempel di dalam bilik suara dan tidak ada dalam surat suara. Pemilih akan melihat nomor urut yang telah tertera di bilik suara lalu menuliskan pilihannya di kolom yang telah disediakan.
Desain pertama ini memiliki kekurangan dan kelebihan. Kelebihannya adalah efisien secara anggaran karena hanya ada satu surat suara. Selain itu, proses penghitungan secara manual pun akan lebih cepat karena petugas KPPS akan langsung menghitung pemilihan presiden, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD RI secara serentak. Dengan begitu, unsur keserentakannya pun terpenuhi. Namun, kekurangan desain ini adalah akan membingungkan bagi pemilih karena perubahan cara dari mencoblos menjadi menulis angka. Selain itu, desain ini juga akan memakan waktu karena pemilih juga akan kerumitan karena harus melihat daftar nama calon di bilik suara lalu menuliskan nomor calon di surat suara. Belum lagi, KPU perlu memikirkan cara jika pemilih tidak bisa menulis.
Desain kedua adalah pemisahan surat suara DPD RI dengan Surat Suara Presiden, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sama seperti Pemilu 2019, pemilih akan mencoblos pilihannya. Desain ini memiliki kelebihan yaitu efisien secara anggaran, walaupun tidak lebih efisien dibandingkan dengan desain pertama. Namun, terdapat beberapa kekurangan dari desain kedua ini, yaitu pemilih akan merasa kebingungan dengan banyaknya pilihan di dalam satu surat suara. Selain itu, ketika mencoblos nama calon, akan ada kemungkinan hasil coblosan tersebut mengenai nama kandidat lain yang berpotensi menjadi suara tidak sah. Hal ini dikarenakan kerapatan kolom nama calon dan besaran kolom yang terlampau kecil pada daftar calon anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Desain ketiga adalah sama dengan desain kedua, yaitu pemisahan surat suara DPD RI dengan surat suara Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Namun, pada kolom pilihan anggota DPR dan DPRD tidak mencantumkan nama calon, melainkan hanya nomor urutnya saja. Pemilih dapat melihat seluruh calon, baik calon presiden dan wakil presiden, daftar calon tetap (DCT) Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang ditempel di dalam bilik suara. Setelah melihat nama, pemilih akan mencontreng nomor urut calon ataupun partai politik pilihannya.
Kelebihan dari desain ini adalah efisiensi anggaran, walaupun tidak lebih efisien dari desain pertama. Selain itu, desain ini juga tidak padat isinya seperti desain kedua. Sedangkan kekurangan pada desain ini adalah akan membingungkan bagi pemilih karena caranya yang berubah dari pemilu sebelumnya, yaitu dengan cara dicontreng.
Setelah melihat kekurangan dan kelebihan dari ketiga desain surat suara, penulis berpendapat bahwa desain pertama merupakan pilihan yang terbaik. Hal ini dikarenakan tiga hal, yaitu terpenuhinya efisiensi anggaran karena hanya akan ada satu surat suara, efisiensi secara waktu penghitungan manual sehingga mengurangi beban kerja petugas KPPS, serta terpenuhinya unsur keserentakan dalam proses penghitungan.
Yang Perlu Dilakukan
Jika desain pertama akan digunakan pada Pemilu 2024, maka terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, perlu melakukan kajian lebih mendalam terkait dampak yang ditimbulkan. Sebagai contoh, terkait menuliskan nomor urut calon, tidak semua pemilih di Indonesia bisa menulis. Untuk itu, KPU perlu mencari cara bagi pemilih yang kesulitan dalam hal menulis. Belum lagi, jika ada multitafsir terkait penulisan angka, misalnya angka 4 yang mirip dengan angka 9. Selain itu, KPU juga perlu untuk mempertimbangkan untuk menambah personel KPPS sehingga dapat mengurangi beban kerja. Di sisi lain, hal ini kemungkinan berkonsekuensi pada penambahan biaya.
Kedua, melakukan perubahan di beberapa pasal pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal yang perlu untuk diubah adalah Pasal 342 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang menjelaskan tentang desain surat suara. Pasal 342 ini menjelaskan bahwa terdapat nama calon pada surat suara. Oleh karena itu, perlu untuk diubah karena pada desain pertama, nama calon tidak akan ada di surat suara. Pasal selanjutnya adalah perubahan pada Pasal 353 ayat (1) huruf a, b, dan c tentang pemberian suara dengan cara mencoblos. Hal ini perlu diubah karena desain pertama akan menuliskan nomor urut calon. Selain itu, perlu juga melakukan perubahan pada Pasal 386 ayat (1), ayat (2), ayat (3) tentang keabsahan suara dengan tanda coblos, karena dalam desain pertama pemberian suara dilakukan dengan cara menuliskan nomor urut calon.
Ketiga, setelah dilakukan perubahan terhadap pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, KPU dan peserta pemilu termasuk partai politik perlu untuk lebih gencar dalam melakukan sosialisasi terhadap cara memilih karena adanya perubahan dari mencoblos menjadi menulis angka.
Ahmad Hidayah – Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute ahmad@theindonesianinstitute.com