Memasuki tahun ke dua Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK) isu reshuffle kabinet kerja jilid ke dua kembali bergulir. Sebelumnya, pemerintahan Jokowi-JK telah melakukan reshuffle kabinet jilid pertama pada Agustus 2015.
Kala itu ada enam menteri baru hasil perombakan kabinet, di antaranya Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menko Kemaritiman Rizal Ramli, Menteri PPN/Bappenas Sofyan Djalil, Menteri Perdagangan Thomas Lembong, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Penulis melihat ada 2 (dua) poin mengapa isu reshuffle kabinet akan dilakukan oleh Presiden Jokowi di tahun kedua pemerintahannya ini. Pertama, kegaduhan di dalam kabinet kerja. Seperti yang kita ketahui, ada sejumlah “pertikaian” antar anggota kabinet yang memunculkan kegaduhan di ranah publik.
Sebut saja konflik antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dan Menteri Kordinator Maritim Rizal Ramli, Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengenai kebijakan impor beras, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, perihal perizinan kereta cepat.
Melihat adanya kegaduhan antar menteri di Kabinet Kerja seharusya dapat menjadi salah satu penilaian Presiden Jokowi untuk me-reshuffle kabinetnya. Menteri-menteri yang saling bertikai di ranah publik, seharusnya tidak lagi dipertahankan.
Karena hal ini jelas akan berdampak pada sinergitas jalannya pemerintahan. Jika tidak adanya sinergitas dalam pemerintahan maka akan terjadi perlambatan laju roda pembangunan. Padahal di sisi yang lain Presiden Jokowi meminta para pembantunya untuk bekerja keras untuk melakukan percepatan pembangunan.
Kemudian kegaduhan para menteri ini jika tidak segera diatasi juga akan mencoreng kewibawaan Kepemimpinan Presiden Jokowi. Kepemimpinan Presiden Jokowi akan dinilai sebagai kepemimpinan yang lemah, karena tidak bisa mengatasi pertikaian para pembantunya. Ketika hal ini terjadi maka kepercayaan publik terhadap Presiden Jokowi akan menurun.
Kedua, bertambahnya dukungan partai politik di luar Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Seperti yang kita ketahui ada beberapa partai yang telah mengumumkan untuk mendukung pemerintah seperti PAN, Partai Golkar, dan PPP (di kedua muktamar). Dukungan baru dari partai diluar KIH jelas akan menambah kuat pemerintahan Jokowi-JK.
Namun di sisi yang lain, konsekuensinya adalah Presiden Jokowi perlu mempertimbangkan untuk mengakomodasi peran partai-partai ini dalam pemerintahan. Oleh karena itu dengan alasan mengakomodasi kepentingan ini, maka reshuffle kabinet akan dilakukan.
Melihat kondisi diatas, penulis mengingatkan bahwa pertama, reshuffle ini harus sesuai dengan kehendak Presiden sebagai pemegang hak prerogatif, bukan hanya dari kepentingan sekelompok orang. Kedua, reshuffle kabinet harus berdasarkan penilaian yang jelas terkait capaian para menteri.
Ketiga, pertimbangan untuk mengakomodasi kepentingan partai yang baru bergabung dalam pemerintahan harus diterima dan menjadi konsesus dari seluruh anggota KIH. Sehingga hal ini, nantinya tidak berdampak pada kesolidan koalisi pemerintahan di kemudian hari.
Keempat, perlu digaris bawahi pos-pos menteri harus tetap diisi oleh orang-orang partai yang memiliki kompetensi sesuai bidangngnya. Bukan hanya sekedar titipan partai.
Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com