Memperkuat Sistem Proporsional Terbuka

Polemik tentang Rancangan Undang-Undang Pemilu untuk menggantikan Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, kembali bergulir.

Salah satu poin penting pembahasan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu 2019 adalah tentang sistem pemilihan dalam pemilu legislatif. Seperti yang kita ketahui dalam UU No. 8 Tahun 2012  Pasal  5  ayat 1 disebutkan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Namun kini muncul wacana untuk mengganti sistem proporsional terbuka dan kembali pada sistem proporsional tertutup. Salah satunya disuarakan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Wakil Ketua Fraksi PDIP Arif Wibowo, mengatakan PDIP meminta sistem proporsional tertutup yang digunakan. Tapi bukan sekedar kucing dalam karung, transparansi calon ke publik bisa dilakuksan sejak setahun sebelumnya. Jadi, meski di bilik memilih PDIP, tapi dia tahu calonnya siapa (detik.com, 20/7).

Berbeda dengan suara PDIP, Partai Nasional Demokrat (Nasdem) melalui Ketua Umum-nya Surya Paloh, Nasdem menginginkan agar pemilihan anggota legislatif 2019 nanti tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Alasannya, sistem ini masih dianggap paling ideal dibanding proporsional tertutup (detik.com, 20/7).

Senada dengan Nasdem, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan mengatakan, PAN mendorong Pemilihan Umum 2019 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Karena menurutnya di alam demokrasi rakyat harus mengetahui dengan jelas figur yang akan mewakili mereka di Dewan Perwakilan Rakyat (detik.com, 21/7).

Memperhatikan polemik diatas, serta mempertimbangkan luasnya wilayah serta prinsip keterwakilan, penulis berpendapat bahwa sistem proporsional terbuka masih merupakan sistem yang ideal untuk digunakan pada Pemilu 2019.

Akan tetapi pelaksanaan sistem ini masih memerlukan beberapa perbaikan. Pertama, yang paling mendasar adalah partai politik harus secara disiplin menjalankan rekruitmen politik dengan baik.

Pasal 29 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebenarnya telah memberikan panduan bagi parpol mengenai rekrutmen dan kaderisasi politik. Ketentuan tersebut menekankan proses rekrutmen serta kaderisasi politik harus demokratis dan sesuai dengan AD/ART parpol, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hal ini sangat penting untuk dilakukan agar parpol menghindari rekruitmen instan yang memunculkan calon legislatif “karbitan” yang hanya disiapkan jelang Pemilu.

Kedua, diperlukan pengaturan seleksi calon legislatif di internal parpol yang berbasis pada tiap dapil. Tahap ini dilakukan jauh sebelum masa pendaftaran calon legislatif. Kemudian, setelah seleksi calon, parpol diharapkan menghasilkan 3-4 kandidat di tiap dapil. Hal ini dilakukan agar membangun persaingan yang sehat di internal parpol yang berbasis pada masing-masing dapil.

Ketiga, memperkuat penyelenggara pemilu dalam pencegahan, pengawasan  dan penindakan praktik politik uang. Selain penyelenggara pemilu, peran pencegahan dan pengawasan terhadap praktik politik uang diharapkan juga didukung oleh kelompok masyarakat sipil. Hal ini sangat penting untuk menekan praktik politik uang pada pemilu 2019 nanti. Sehingga menjadikan demokrasi kita menjadi lebih berkualitas.

 

Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar