Memilih Calon Anggota Legislatif

Pada tanggal 17 April nanti, kita akan melaksanakan pemilu yang berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Karena untuk pertama kalinya, Indonesia akan melakukan pemilu secara serentak, dengan skema pemilihan calon presiden-wakil presiden, calon anggota legislatif DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, serta anggota DPD.

Dengan skema tersebut, diharapkan sistem presidensial kita menjadi semakin kuat. Namun, Pemilu Serentak 2019 juga menghasilkan ekses yang tidak diinginkan. Isu Pileg dan pemilihan anggota DPD tidak banyak mendapatkan perhatian publik karena tertutupi oleh isu Pilpres.

Berdasarkan survei CSIS yang dilaksanakan pada tanggal 15-22 Maret 2019, responden yang sudah menentukan pilihan caleg hanya 44,8 persen. Angka ini terbilang sangat rendah mengingat, hari pencoblosan tinggal beberapa hari lagi. Maka dari itu penting bagi kita untuk mengidentifikasi risiko bagi perkembangan demokrasi atas termarjinalsiasinya isu Pileg dalam Pemilu Serentak 2019.

Termarjinalnya Isu Pemilu Legislatif

Ada banyak faktor yang menyebabkan Pemilu Legislatif tidak mendapat perhatian publik secara luas. Pertama, Pemilu 2019 dilaksanakan secara serentak dengan Pemilu Presiden. Akibat dari pelaksanaan pemilu serentak ini ialah partai politik mengalokasikan sumber dayanya secara besar-besaran ke Pilpres. Terutama oleh partai politik dari capres dan cawapres berasal. Dengan memaksimalkan sumber daya yang ada untuk Pilpres, diharapkan, tingginya perolehan suara dalam Pilpres berkorelasi positif dengan perolahan suara partai tersebut.

Dalam teori Ilmu Politik dikenal dengan istilah coattail effect atau efek ekor jas. Hal ini terkonfirmasi dalam temuan survei Charta Politika yang dilaksanakan pada 19-25 Maret 2019. Dalam survei tersebut, Partai Gerindra dan PDI Perjuangan mendapatkan efek ekor jas paling signifikan. Pada Pemilu 2014 lalu, elektabilitas PDIP sebesar 18,9 persen dan meningkat dalam survei ini menjadi 25,3 persen. Sementara Partai Gerindra pada Pemilu 2014, elektabilitasnya sebesar 11,8 persen, naik menjadi 16,2 persen dalam survei tersebut (suara.com, 4/4).

Hal tersebut berbeda dengan kondisi Pemilu 2014 silam. Pileg dilaksanakan lebih dulu sebelum Pilpres dilangsungkan. Pada pemilu waktu itu, perolehan suara Pileg menjadi penentu seberapa besar posisi tawar partai tersebut di mata partai yang lain dalam mengusung capres dari partainya sendiri. Dengan kata lain, alokasi sumber daya partai tidak terfokus pada Pilpres semata tetapi juga di Pileg. Tidak heran jika pada Pemilu 2014, jargon Partai Gerindra, “Gerindra Menang, Prabowo Presiden” digaungkan dimana-mana. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kesempatan Partai Gerindra dalam mengusung capresnya sendiri atau lebih sedikit memerlukan koalisi dari partai lain.

Faktor lain ialah, Pileg hanya menjadi rutinitas 5 tahunan semata. Masyarakat tidak sedikit yang kecewa dengan para caleg yang menawarkan banyak janji manis di awal dan setelah caleg tersebut terpilih, lupa untuk menunaikan janjinya kepada konstituen. Selain itu masyarakat juga mendapatkan paparan media yang memberitakan keburukan para anggota parlemen. Seperti korupsi, tersangkut kasus obat-obatan terlarang, dan kasus-kasus lainnya.

Sebetulnya hanya dilakukan oleh oknum-oknum tertentu, akan tetapi karena kasus tersebut berulang secara terus-menerus oleh oknum lain, masyarakat kemudian mengeneralisir menjadi perilaku yang lumrah anggota parlemen kita. Tidak mengherankan jika masyarakat tidak memiliki atensi yang lebih terhadap Pileg

Dampak Termarginalnya Pileg

Jika Pileg tidak kunjung mendapat perhatian dari masyarakat, Pemilu 2019 tentu akan menghasilkan anggota parlemen yang kurang berkualitas. Hal ini dikarenakan masyarakat enggan untuk melakukan pelacakan atau penelitian kecil terkait caleg mana yang cocok untuk mereka pilih. Akibatnya, masyarakat akan cenderung memilih caleg yang alat peraga kampanyenya paling sering mereka lihat. Tanpa mengetahui latar belakangnya, visi-misinya, dan agenda apa yang hendak caleg tersebut perjuangkan.

Jika caleg yang terpilih tidak banyak yang berkualitas, maka fungsi DPR sebagai lembaga yang memainkan fungsi check and balances terhadap presiden tidak akan memainkan fungsi yang optimal. DPR diharapkan menjadi lembaga kritis atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah agar kebijakan pemerintah ataupun peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh pemerintah dan DPR memiliki kualitas yang bagus.

Edukasi Pemilih

Maka dari itu, disisa waktu yang ada ini dapat dimanfaatkan untuk mengajak masyarakat peduli terhadap caleg-caleg yang akan mereka pilih. Tidak sekedar gambar, tetapi masyarakat juga perlu tahu latar belakang dan agenda apa yang hendak caleg tersebut usung.

Saat ini banyak aplikasi yang yang menyediakan informasi terkait caleg-caleg. Diantaranya, infopemilu.kpu.go.id, PintarMemilih, CALEG2019.ID, calegpedia.id, TAMANRAKYAT.ID, KBR.ID/KENALICALEG, atau informasi caleg yang telah disediakan oleh lndopoll Media. Dengan melakukan pelacakan rekam jejak para caleg melalui platform informasi di atas, diharapkan masyarkat memilih caleg yang berkualitas pada tanggal 17 April mendatang.

 

 

Fadel Basrianto, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute,

fadel@theindonesianinstitute.com

Komentar