Melawan Politik Uang pada Pemilu 2024

Jelang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meluncurkan kampanye dengan slogan ”Hajar Serangan Fajar”. Slogan ini merupakan respons KPK atas masih tingginya penyebaran politik uang selama pemilu di Indonesia. Menurut KPK, salah satu akar terjadinya korupsi di dalam sistem politik Indonesia adalah praktik politik uang. Oleh karena itu, slogan ”Hajar Serangan Fajar,” merupakan bentuk edukasi kepada masyarakat akan bahaya politik uang.

“Serangan Fajar” merupakan istilah populer dari politik uang. Berdasarkan Pasal 515 dan Pasal 523 ayat 1–3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 187 A ayat 1 dan 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, bentuk serangan fajar tidak terbatas pada uang. Namun, juga dalam bentuk lain seperti paket sembako, voucher pulsa, voucher bensin, atau bentuk fasilitas lainnya yang dapat dikonversi dengan nilai uang di luar ketentuan bahan kampanye yang diperbolehkan sesuai dengan Pasal 33 ayat 2 dan 7 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum.

Pada Pasal 33 ayat 2 PKPU Nomor 15 tahun 2023 mengenai bahan kampanye yang diperbolehkan bagi peserta pemilu dan bukan termasuk dalam serangan fajar dijelaskan secara rinci yang berbunyi: selebaran; brosur; pamflet; poster; stiker; pakaian; penutup kepala; alat minum/makan;  kalender; kartu nama; pin; alat tulis; dan/atau atribut kampanye lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun pada ayat 7 berbunyi: setiap bahan kampanye pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat 2, harus memiliki nilai paling tinggi Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) jika dikonversikan dalam bentuk uang; sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai standar biaya masukan; dan/atau yang harganya tetap wajar.

Berkaca dari pengalaman Pemilu 2019, berdasarkan temuan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pada masa tenang Pemilu 2019 (14 April – 16 April 2019), terdapat 25 kasus politik uang di 25 kabupaten/kota yang dilakukan oleh peserta pemilu dan tim pemenangannya. Kasus-kasus tersebut tersebar di 13 provinsi di seluruh Indonesia. Provinsi dengan kasus terbanyak adalah Jawa Barat dan Sumatera Utara dengan masing-masing lima kasus. Barang bukti politik uang yang ditemukan beragam jenisnya, mulai dari uang tunai, deterjen, hingga sembako (Bawaslu, 16/4/2019).

Selanjutnya dari sisi masyarakat, berdasarkan hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2019, ditemukan bahwa 40 persen responden menerima uang dari para peserta Pemilu 2019, tetapi tidak mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka. Sementara, 37 persen responden lainnya mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih.

Selain survei terhadap publik, pengaruh politik uang dalam Pemilu 2019 juga ditanyakan LIPI kepada tokoh atau elit yang menjadi responden. Hasilnya, 83 persen responden dari kalangan tersebut menilai bahwa pemilih mempertimbangkan pemberian uang, barang, atau jasa dari calon legislatif atau partai politik yang mereka terima saat memilih. Namun, ada 17 persen yang menyatakan hal tersebut tidak dipertimbangkan.

Dalam survei tersebut, LIPI melakukan dua survei kepada publik dan elit atau tokoh. Survei publik dilakukan dengan 1.500 responden (27 April hingga 5 Mei 2019). Sedangkan, survei tokoh dilakukan kepada 119 tokoh dari 5 kota melalui wawancara tatap muka dengan pengumpulan data pada tanggal 27 Juni hingga 8 Agustus 2019.

Dampak Politik Uang

Berdasarkan paparan di atas, dampak dari maraknya praktik politik uang akan mendorong peningkatan praktik korupsi politik yang dilakukan oleh pejabat publik yang dihasilkan oleh partai politik melalui pemilu. Padahal, salah satu fungsi partai politik adalah sebagai ruang rekruitmen politik. Fungsi ini berkaitan dengan seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan yang lebih luas di tingkat daerah maupun tingkat nasional, seperti mencalonkan Presiden, anggota DPR/DPRD, Gubernur, Bupati serta Walikota.

Di sisi lain, penggunaan uang dalam kampanye politik merupakan sesuatu yang penting. Hal ini disebabkan karena uang peserta pemilu dapat menyebarkan gagasan dan berkomunikasi dengan para konstituen mereka (Ohman, 2016). Namun, penggunaan uang oleh partai politik dan calon harus diungkap dan dilaporkan menurut aturan. Hal ini dilakukan sebagai bagian implementasi transparansi kepada publik. Transparansi dana kampanye memungkinkan pemilih untuk membuat keputusan yang lebih baik tentang partai atau calon yang akan mereka dukung (Nassmacher, 2003).

Oleh sebab itu, diperlukan upaya bersama dari penyelenggara dan peserta pemilu, serta masyarakat sipil untuk menegakkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana kampanye, termasuk dalam pelaporan sumbangan dana kampanye.

Upaya-upaya yang relevan sampai saat ini dilakukan adalah pertama, menuntut KPU untuk bersikap konsisten, misalnya untuk tetap mempertahankan penyampaian Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) bagi peserta pemilu. Kedua, mendorong Bawaslu untuk tegas memberikan sanksi dengan berkoordinasi dengan lembaga negara terkait, jika ada peserta pemilu yang melakukan politik uang dan melanggar pelaporan dana kampanye. Ketiga, menuntut partai politik untuk patuh dan segera menyerahkan laporan dana kampanye kepada KPU, serta mendorong partai politik untuk menginformasikan kepada publik tentang laporan dana kampanyenya, misalnya melalui website.

Keempat, KPK bersama penyelenggara pemilu serta kelompok masyarakat sipil melakukan kampanye tentang tolak politik uang dengan menggunakan media informasi yang efektif.  Selain itu, peran masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan terkait politik uang juga harus dibuka kesempatannya dan didukung, termasuk oleh KPU dan Bawaslu.

Kelima, mendukung kerja sama antara KPU, Bawaslu, KPK serta Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait pelaporan dana kampanye parpol. Dengan demikian, pelaporan dana kampanye menjadi salah satu indikator penting yang harus didorong, demi menciptakan pemilu yang  jujur, adil, dan berintegritas tanpa politik uang.

Arfianto Purbolaksono

Manajer Riset dan Program

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Reearch (TII)

arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar