Pada hari Rabu 16 November 2016, Bareskrim Polri menetapkan Gubernur non-aktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama. Penetapan tersebut dilakukan Bareskrim Polri setelah melakukan gelar perkara terbuka terbatas di Mabes Polri Selasa, 15 November 2016 (Kompas.com, 16/11/16).
Ahok ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dengan demikian perkara penistaan agama dengan tersangka Ahok akan ditingkatkan ke tahap penyidikan (Kompas.com, 16/11/16).
Meskipun Ahok sudah ditetapkan sebagai tersangka, sebagian masyarakat masih ada yang tidak puas. Hal itu dikarenakan Ahok tidak segera ditahan oleh Bareskrim Polri. Padahal sebetulnya jika merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ada syarat-syarat tertentu untuk dapat dilakukan penahanan. Syarat tersebut diantaranya apabila seorang tersangka (atau terdakwa) dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bungkti atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21 KUHAP).
Dengan alasan tersebut, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) akan menggelar rencana aksi damai kembali pada tanggal 2 Desember 2016. Aksi damai tersebut selanjutnya lebih dikenal dengan Aksi 212. Aksi 212 rencananya akan dimulai dengan sholat Jumat, dzikir, dan sholawat bersama. Massa berkumpul dan melaksanakan Sholat Jumat di sepanjang Jalan Sudirman, Bundaran HI, sampai Jalan MH Thamrin, Jakarta (nasional.tempo.co, 24/11/16).
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan ketidaksetujuannya atas rencana Aksi 212 tersebut. Pasalnya aksi tersebut dapat mengganggu ketertiban publik, menutup jalan protokol bagi akses pengguna jalan. Selain itu, Tito menegaskan bahwa proses hukum terhadap Ahok tetap berjalan di Bareskrim Polri. Dengan demikian, tak perlu lagi dilakukan aksi unjuk rasa. Jika tetap dilakukan, maka patut dicurigai bahwa aksi tersebut tak lagi murni untuk penegakan hukum. Akan tetapi ada upaya agenda politik lain, di antaranya upaya makar (Kompas.com, 21/11/16).
Menanggapi rencana Aksi 212, Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal M. Iriawan mengeluarkan maklumat pada Senin, 21 November 2016. Maklumat dengan nomor Mak/04/XI/2016 itu berisi sejumlah aturan dan ketentuan terkait dengan penyampaian pendapat di muka umum. Salah satunya berisi larangan untuk berbuat makar.
Sedikitnya, ada empat poin yang tertulis dalam maklumat tersebut. Pertama, para peserta diminta mematuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Penyampaian Pendapat Di Muka Umum, khususnya tentang kewajiban, larangan, dan sanksi bagi pelaku atau peserta. Kedua, penyampaian pendapat di muka umum dilarang membawa senjata tajam, senjata pemukul, atau benda-benda yang membahayakan. Selain itu, Polda Metro Jaya harus diberi tahu tentang rencana kegiatan tersebut.
Ketiga, dilarang mengganggu ketertiban umum, merusak fasilitas umum, dan melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan fungsi jalan arus lalu lintas, dan melakukan provokasi yang bersifat anarkistis atau yang mengarah kepada SARA. Keempat, dilarang melakukan kejahatan terhadap keamanan negara berupa makar terhadap presiden dan atau wakil presiden, dan makar hendak memisahkan dari NKRI, serta makar dengan menggulingkan pemerintah Indonesia. Terhadap perbuatan tersebut, pelaku dapat dihukum mati, penjara seumur hidup, atau penjara paling lama 20 tahun.
Dalam perspektif hukum pidana, tindak pidana makar masuk ke dalam kategori kejahatan terhadap keamanan negara. Secara yuridis makar yang ditujukan ke dalam negeri dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bentuk yaitu makar terhadap keselamatan Presiden dan Wakil Presiden, terhadap wilayah negara, dan terhadap pemerintahan. Ketiga perbuatan ini diatur dalam Pasal 104, Pasal 106, dan Pasal 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Mengatakan bahwa dibalik Aksi 212 ada upaya untuk makar tentu tidak boleh dilakukan hanya atas dasar kecurigaan apalagi tuduhan. Melainkan perlu data dan dasar yang jelas dan tegas yakni apakah aksi tersebut memenuhi unsur-unsur makar yang ada di dalam KUHP. Tujuannya adalah untuk menjamin kepastian hukum bagi masyarakat.
Merujuk pada berita-berita yang berkembang di berbagai media tindakan orang yang “dianggap makar” barulah sebatas rencana untuk mengadakan demonstrasi-demonstrasi. Oleh karena itu terlalu dini mengatakan ada unsur makar yang memenuhi rumusan dan syarat delik makar dalam KUHP.
Terlepas dari itu semua, pada dasarnya menyampaikan pendapat merupakan hak kosntitutional bagi setiap warga negara. Namun dalam proses penyampaian pendapat tentu harus menghormati hak-hak warga negara yang lain. Penulis berpendapat bahwa sebagai negara hukum kita harus menghormati proses hukum, sebagai bentuk kedewasaan kita sebagai sebuah bangsa. Proses hukum yang berjalan akan digelar secara transparan dan disiarkan ke publik. Sehingga masyarakat dapat mengawal secara langsung setiap tahap dalam proses hukum terhadap Ahok.
Menurut Penulis untuk mengawal proses hukum terhadap Ahok, GNPF MUI dapat membentuk Tim Ahli atau Kuasa Hukum. Tindakan ini justru dapat menjadi sikap yang tegas dan dapat memberikan citra positif terhadap umat Islam itu sendiri. Tim Ahli Hukum tersebut dapat terdiri dari Ahli Hukum, Bahasa, dan IT. Sehingga publik dapat cerdas dan memahami duduk persoalan, bukan saling menghujat seperti saat ini.
Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com