The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), ingin membagikan studi tentang “Mempromosikan dan Melindungi Kebebasan Berekspresi Warga Negara terhadap Pemerintah dalam Ruang Digital di Indonesia”. Studi yang didukung oleh Atlas Network ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan pada Januari hingga pertengahan Mei 2021, dengan menggunakan metode studi dokumen dan wawancara mendalam dengan para pemangku kepentingan. Studi ini bertujuan untuk memahami isi dan konteks kebijakan terkait kebebasan berekspresi, khususnya kritik warga terhadap pemerintah di ruang digital. Analisis kami juga melihat konsep-konsep seperti ruang digital, demokrasi dan pemerintahan; pendekatan politik hukum, serta implementasi kebijakan.
Dalam studi ini, secara umum TII menemukan bahwa kebebasan berekspresi menjadi salah satu permasalahan dalam refleksi 23 tahun Reformasi di Indonesia. Hal ini tercermin dari beberapa kasus kriminalisasi yang menyasar aktivis demokrasi. Padahal, landasan hukum yang ada, antara lain UUD 1945, KUHP, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memperlihatkan komitmen pemerintah untuk melindungi hak asasi manusia. Namun, dalam praktiknya peraturan tersebut rawan digunakan sebagai alat untuk menakut-nakuti, kalau bukan untuk mengkriminalisasi, mereka yang kritis terhadap pemerintah, khususnya melalui perangkat elektronik.
The Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) memantau sejak UU ITE disahkan pada 2008, tercatat sebanyak 324 kasus setidaknya yang terjadi hingga Oktober 2020. Selain itu, di antara korban UU ITE, Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) juga mencatat bahwa setidaknya terdapat sepuluh jurnalis pada tahun 2020 yang telah divonis bersalah menggunakan UU ITE, mengenyampingkan fakta bahwa pers dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Meski revisi undang-undang tersebut telah dilakukan pada tahun 2016, namun tidak menghentikan implementasi bermasalah yang telah berhasil meningkatkan kasus-kasus pelanggaran HAM, khususnya terkait dengan kebebasan berekspresi di Indonesia dari waktu ke waktu. SAFEnet mencatat, sejak 2017, terdapat 15.056 kasus yang dilaporkan ke Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Ketertiban umum, penghinaan, dan pencemaran nama baik menjadi alasan untuk mengkriminalisasi mereka yang kritis terhadap pemerintah di platform digital.
Selain itu, dalam studi TII ditemukan bahwa menajamnya perpecahan politik di masyarakat akibat Pemilu pada 2014, 2017, dan 2019 juga menambah hambatan dan ancaman terhadap kebebasan berekspresi, termasuk di ruang digital antara mereka yang pro dan kontra terhadap pemerintahan saat ini. Lebih lanjut, kondisi kebebasan berekspresi yang memprihatinkan terlihat dari beberapa hasil temuan. Survei Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Puslitbang Kompas menunjukkan bahwa 36% responden merasa tidak bebas menggunakan haknya untuk mengekspresikan diri di ruang digital. Catatan ini juga menjelaskan status Indonesia sebagai Partly Free berdasarkan Global Freedom Status pada Laporan Freedom House dari 2019 hingga 2021. 23 tahun Reformasi dan cerminan demokrasi serta pemerintahan di Indonesia harus menjadi momentum untuk mempromosikan dan melindungi kebebasan berekspresi di Indonesia, termasuk soal kritik terhadap pemerintah di ruang digital.
Kami berharap studi ini dapat memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat ditindaklanjuti dan relevan dengan perspektif hak asasi manusia dan kebebasan serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam rangka mempromosikan kebebasan berekspresi dan perlindungan digital di Indonesia, khususnya untuk partisipasi warga dalam proses kebijakan, termasuk dalam menyuarakan kritik dan masukan kepada pemerintah di ruang digital.
Selamat membaca. Atas perhatian dan dukungannya, kami ucapkan terima kasih.