Madu dan Racun dalam Rencana Revisi UU ITE

Dorongan untuk melakukan revisi kedua terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tampaknya sudah hampir menemukan titik terang. Pasalnya, lewat keterangan tertulis, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyampaikan bahwa Presiden sudah secara resmi mengirimkan Surat Presiden (surpres) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi UU ITE. Surat tersebut bernomor R-58/Pres/12/2021 dengan perihal Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua Atas UU ITE dan melampirkan satu berkas naskah RUU (Republika.co.id, 24/12/2021).

Melalui surat tersebut, Pemerintah berharap agar revisi kedua UU ITE menjadi prioritas pembahasan oleh DPR sehingga dapat menghilangkan beberapa pasal karet yang dituding diskriminatif oleh masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan pesan yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo ketika membuka Rapat Pimpinan Nasional Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia pada 15 Februari 2021 (Suara.com, 24/12/2021). Meskipun hal ini diharapkan menjadi angin segar bagi advokasi penghapusan pasal multitafsir dalam UU ITE, namun masyarakat masih belum dapat bernapas lega.

Berdasarkan surpres yang telah dikirimkan oleh Presiden Joko Widodo kepada DPR terkait dengan revisi kedua UU ITE, hanya terdapat empat pasal yang akan direvisi, yaitu Pasal 27, 28, 29, dan 36 UU ITE. Keempat pasal tersebut memang seringkali dijadikan sebagai dasar hukum untuk menjerat ekspresi masyarakat dalam ruang digital, akan tetapi masih terdapat beberapa pasal multitafsir lainnya yang tidak dimasukkan oleh pemerintah dalam surpres tersebut. Contohnya Pasal 45B UU ITE yang berisikan pemberatan atas tindak pidana yang terdapat dalam Pasal 29 UU ITE. Seharusnya, pasal ini juga secara spesifik harus dibahas, diubah, ataupun dihapus dalam pembahasan revisi UU ITE.

Selain merevisi beberapa pasal tersebut, Presiden Joko Widodo juga bermaksud untuk menambahkan satu ketentuan baru, yaitu pasal 45C UU ITE. Secara umum, pasal tersebut mengatur tentang pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja menyebarluaskan informasi atau pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat dan kedua, pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja menyebarluaskan informasi elektronik yang berisi pemberitahuan yang tidak pasti atau yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia patut menyangka bahwa hal itu dapat menimbulkan keonaran di masyarakat. Analisis terhadap permasalahan dalam Pasal 45C UU ITE dapat pembaca simak dalam Problematika Rancangan Pasal Baru dalam UU ITE (2021).

Revisi UU ITE memang merupakan salah satu capaian yang diinginkan dalam memutus rantai pemidanaan yang diakibatkan oleh pasal-pasal karet dalam undang-undang tersebut. Amnesti yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo kepada Baiq Nuril dan Saiful Mahdi sebagai dua di antara banyaknya korban dari jerat karet UU ITE sebenarnya menjadi bukti salah arah implementasi undang-undang ini. Bukannya memberikan perlindungan bagi masyarakat dalam bertransaksi di ruang digital, UU ITE lebih sering digunakan untuk memenjarakan suara kritis masyarakat.

Pemerintah seharusnya dapat mengevaluasi persoalan yang ditimbulkan oleh pasal-pasal karet yang termuat dalam UU ITE. Masalahnya tidak hanya terdapat dalam proses implementasi seperti yang disampaikan oleh Tim Kajian UU ITE. Jika yang bermasalah hanya penerapan di lapangan, maka tidak akan ada lagi rekayasa perkara dengan menggunakan UU ITE pasca diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Pedoman Implementasi UU ITE. Sayangnya, hal tersebut hanya solusi sementara yang tidak menyelesaikan persoalan.

Amnesty Internasional Indonesia mencatat bahwa terdapat 84 kasus pelanggaran berekspresi dengan total 98 korban yang menggunakan UU ITE sepanjang tahun 2021 (cnnindonesia.com, 14/12/2021). Meskipun terdapat penurunan kasus jika dibandingkan dengan total kasus represi kemerdekaan pendapat yang berjumlah 119 kasus pada tahun 2020 (amnesty.id, 2020), namun hal tersebut tidak dapat membuktikan bahwa SKB tafsir implementasi UU ITE telah berhasil memutus rantai pemidanaan di ruang digital.

Langkah yang paling tepat untuk dapat mengatasi tindakan represi negara terhadap kebebasan berekspresi adalah dengan menghapuskan pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE. Selain itu, juga perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh terkait dengan muatan isi yang terdapat dalam UU ITE dan dihubungkan dengan tujuan awal kelahiran UU ITE yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat untuk melakukan transaksi elektronik di ruang digital.

 

Hemi Lavour Febrinandez
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
hemi@theindonesianinstitute.com

Komentar