Presiden Joko “Jokowi” Widodo akan dilantik untuk masa jabatan kedua pada 20 Oktober 2019. Pembicaraan
mengenai kabinet baru pun kian ramai.
Wacana restrukturisasi atau penataan ulang kementerian/lembaga (K/L) kembali mengemuka. Tata ulang berarti efisiensi, yaitu meninjau tugas, pokok, dan fungsi K/L.
Saat ini, jumlah kementerian yang sangat banyak, yaitu 34, belum ditambah dengan berbagai kelembagaan atau badan, sehingga menghambat sinergi antar K/L karena sulitnya koordinasi.
Akibatnya, berbagai program menjadi tumpang tindih. Sebagai contoh, penanggulangan kemiskinan saat ini dilakukan lewat beberapa program diantaranya Program Keluarga Harapan, Program Indonesia Sehat, dan Bantuan Pangan Non Tunai.
Jika melihat negara lain, susunan kementerian yang ramping sangat mungkin dicapai.
Pemerintahan Korea Selatan memiliki 22 kementerian dan Vietnam 18 dengan beberapa lembaga setingkat kementerian .
Cina dengan populasi penduduk yang besar memiliki 22 kementerian dan beberapa lembaga setingkat kementerian. Amerika Serikat dengan penduduk yang juga besar hanya memiliki 15 kementerian dan beberapa lembaga setingkat kementerian.
Lewat berbagai strategi pemangkasan dan tata ulang birokrasi, jumlah kementerian di Indonesia bisa dipangkas menjadi 25 pos saja.
Tata ulang lewat perampingan
Penataan ulang kementerian pada intinya bertujuan untuk mengubah wajah pelayanan publik. Dari birokrasi yang berbelit menjadi cepat, tepat fungsi dan responsif.
Kurangnya sinergi dan adanya silo mentality menjadi hambatan keberhasilan kebijakan atau program K/L. Silo mentality adalah pola pikir yang terjadi dalam organisasi yang menolak berbagi informasi dan sumber daya dengan orang atau divisi lain dalam organisasi.
Melalui tata ulang, harapannya, fungsi yang telah diemban oleh masing-masing kementerian dapat diperkuat dan dimaksimalkan.
Misalnya, tidak semua penanganan urusan pemerintahan yang rumit juga perlu ditangani dengan pembentukan lembaga baru.
Akan lebih efektif jika beberapa kementerian yang menangani bidang sama dilebur dan diubah namanya.
Sebuah kementerian yang menangani ekonomi dalam skala besar, misalnya, dapat menjadi wadah bagi Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Digital dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Investasi, dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, seperti yang dilakukan Korea Selatan.
Asosiasi Pengusaha Indonesia menyatakan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan sebaiknya digabung. Kedua bidang itu ibarat dua sisi mata uang: setiap produk kebijakan dari perindustrian atau perdagangan akan saling mempengaruhi.
Beberapa kementerian lain juga dapat dilebur mengingat fungsi dan target yang saling terkait. Fungsi suatu kementerian dapat ditarik atau dipindah demi kinerja yang lebih efektif.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat kembali menjadi Kementerian Pendidikan. Jika melihat fungsinya, bidang kebudayaan akan lebih tepat jika digabung dengan Kementerian Pariwisata, mengingat kebudayaan dalam bentuk fisik merupakan kekayaan lokal yang memiliki daya tarik dan harus dilestarikan.
Hal itu dilakukan China dan Korea Selatan yang memiliki Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan.
Melihat potensi perdesaan dan perkembangannya kini yang tidak terlepas dari pertanian, maka Kementerian Pertanian dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dapat digabung.
Di Korea Selatan, desa-desa dapat berkembang sesuai karakteristik karena pertanian dan perdesaan diurusi satu kementerian.
Mengamati beberapa program Program Keluarga Harapan dan praktik kerja, maka Kementerian Sosial dapat dilebur dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Terakhir, Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebaiknya juga dilebur melihat rencana pembangunan Indonesia ke depan.
Pada 2014, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga merekomendasikan penghapusan kementerian koordinator karena tidak sesuai konstitusi dan undang-undang yang ada.
Jika peleburan dan penghapusan kementerian di atas dilaksanakan, maka kabinet dapat berjumlah hanya 25 kementerian.
Tantangan
Pada periode jabatan pertama, keinginan Jokowi untuk memangkas kementerian hingga berjumlah 27 saja tidak terwujud.
Keinginan Jokowi itu berbenturan dengan kepentingan partai pendukung pemerintah. Kondisi Indonesia yang multipartai memposisikan Jokowi sebagai eksekutif yang berada pada situasi yang penuh perhitungan.
Kini, Jokowi justru berencana membentuk tiga kementerian baru, yaitu Kementerian Investasi, Kementerian Ekonomi Digital dan Industri Kreatif.
Kemudian ada wacana pembentukan Badan Regulasi, yang posisinya setara lembaga kementerian. Hal tersebut tidaklah perlu.
Harmonisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan memperkuat fungsi dan kapasitas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Badan Pembangunan Hukum Nasional yang telah ada.
Dari segi politik, tata ulang kementerian secara otomatis mengurangi jatah kursi menteri. Oleh karena itu, penataan kembali K/L hanya memungkinkan jika didukung komitmen, keberanian dan komunikasi yang kuat oleh presiden.
Bagaimanapun, Jokowi harus melihat kompetensi yang dimiliki calon-calon menterinya. Diantaranya, memiliki pengalaman di bidangnya, jejaring yang luas, karakter yang fleksibel atau adaptif, serta visi inovasi untuk mendorong perubahan.
Selain itu, seorang menteri haruslah responsif dan peka terhadap kebutuhan pegawai yang dipimpinnya dalam kinerja yang menyentuh kebutuhan mendasar publik. Termasuk disini membuat perencanaan dan implementasi yang terukur, dan berkelanjutan demi perbaikan kinerja. Responsif juga berarti mampu menghidupkan keterbukaan informasi dan mengelola aspirasi publik.
Sekalipun kepentingan politik begitu kentara, kompetensi menteri harus dikedepankan. Dengan begitu, mencapai keberhasilan kinerja yang maksimal, bukan sekadar angan-angan belaka.
Sumber: Theconversation.com