Langkah Strategis Pembahasan Omnibus Law Bidang Digital

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengungkapkan rencana pemerintah untuk menyusun Omnibus Law Bidang Digital. Aturan sapu jagat tersebut akan mengatur pelbagai hal di dunia digital, termasuk soal transaksi berita. Omnibus Law Bidang Digital nantinya juga akan mengatur perlindungan data konsumen, perlindungan data pribadi, hingga transaksi elektronik dalam bentuk uang (e-money). Diungkapkan bahwa pembahasan omnibus law tersebut akan masuk dalam rencana jangka panjang (Republika.co.id, 15/06/2021).

Terkait dengan nomenklatur omnibus law ini, masih terdapat perbedaan penyebutan ketika disampaikan oleh Mahfud MD sebagai inisiator, antara bidang digital atau bidang elektronik. Akan tetapi, tulisan ini akan menggunakan penyebutan Omnibus Law Bidang Digital.

Harus diingat, bahwa masyarakat memiliki trauma terkait proses perubahan undang-undang melalui metode omnibus law, yaitu pada saat pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) atau yang juga dikenal dengan Omnibus Law Cipta Kerja. Hal tersebut terjadi akibat cepatnya proses pembahasan dan tertutupnya akses bagi masyarakat untuk memperoleh naskah rancangan. Hal tersebut membuat masyarakat tidak dapat memberikan masukan kepada pembentuk undang-undang pada saat proses pembahasan.

Agar hal serupa tidak lagi terjadi, maka terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan pemerintah selaku pembentuk undang-undang sebelum memutuskan untuk membahas Omnibus Law Bidang Digital ke jenjang yang lebih serius. Pertama, menyelesaikan kajian beberapa undang-undang terkait dengan digital secara komprehensif. Perhatian khusus terutama harus diberikan ke beberapa undang-undang yang memiliki muatan pidana, seperti yang saat ini dibahas oleh pemerintah, yaitu Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan revisi kedua terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kajian dan upaya penataan pemidanaan di ruang digital harus dilakukan secara fokus per produk hukum, dari pada memaksa untuk dibahas secara bersamaan dalam Omnibus Law Bidang Digital.

Kedua, memastikan terbukanya ruang partisipasi publik pada proses pembahasan. Pembentuk undang-undang boleh saja memiliki ambisi untuk segera menata pelbagai produk undang-undang di ruang digital. Namun, langkah tersebut harus berjalan seiring dengan pelibatan masyarakat sebagai subjek dari produk hukum bidang digital tersebut. Sebagaimana telah diamanatkan oleh Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, misalnya dengan memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR pada tahap penyusunan.

Memperkirakan jangka waktu dalam pembahasannya pun harus telah dirancang oleh pemerintah sebelum rancangan omnibus law tersebut di lempar ke DPR. Hal ini dibutuhkan karena terdapat beberapa rancangan undang-undang yang ingin dibahas oleh pemerintah dalam RUU sapu jagat Bidang Digital ini masih mandek pada tahap pembahasan. Misalnya, terkait dengan RUU tentang Perlindungan Data Pribadi.

Ketiga, memastikan bahwa tidak akan terdapat “pasal selundupan” dalam merancang Omnibus Law Bidang Digital. Hal tersebut terjadi karena dalam praktiknya pembahasan menggunakan konsep omnibus law memberi kesempatan kepada kelompok tertentu (penunggang) untuk menyelipkan pasal-pasal atau ketentuan yang tidak berhubungan dengan subtansi materi rancangan undang-undang (Jimly, 2021). Ketika tidak terdapat pengawasan yang ketat dalam proses perumusan hingga pengawasannya, maka ruang terjadinya praktik korupsi legislasi akan terbuka dengan lebar.

Omnibus Law Bidang Digital harus mampu untuk menerapkan ketentuan tentang objek tunggal dalam proses perumusannya (one subject at a time). Dengan demikian, maka ruang terjadinya korupsi legislasi seperti upaya menyelipkan pasal tertentu atau yang tidak berkaitan dengan subtansi dalam RUU tersebut akan dapat ditutup. Poin ini juga menjadi penguat argumen agar DPR bersama dengan pemerintah selaku pembentuk undang-undang untuk membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya serta melakukan pembahasan secara tranparan dan mudah diakses oleh publik.

 

Hemi Lavour Febrinandez

Peneliti Bidang Hukum

hemi@theindonesianinstitute.com

Komentar