Langkah Maju Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus

Pada tanggal 31 Agustus lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek), Nadiem Anwar Makarim meneken Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Aturan tersebut dikeluarkan sebagai upaya Kemendikbud-Ristek dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Dengan langkah tersebut, harapannya akan tercipta lingkungan belajar yang aman, baik itu bagi mahasiswa maupun bagi dosen di perguruan tinggi, yang pada akhirnya sejalan dengan pencapaian tujuan pendidikan nasional.

Sebelumnya di tahun 2020, Kemendikbud-Ristek melakukan penelitian di 79 kampus yang hasilnya menunjukkan bahwa 77 persen dosen menyatakan pernah terjadi perundungan seksual di kampus masing-masing. Ironisnya, 63 persen kasus tersebut tidak pernah dilaporkan. Di sisi lain, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sepanjang tahun 2015 hingga 2020 menerima 27 persen aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi, dari keseluruhan pengaduan yang terjadi di lembaga pendidikan. Data tersebut diperkuat dengan temuan survei Kemendikbud-Ristek (2019) yang menunjukkan bahwa kampus merupakan tempat yang paling banyak terjadi kekerasan seksual (15 persen), setelah jalanan (33 persen), dan transportasi umum (19 persen).

Banyaknya kasus kekerasan seksual di kampus yang tidak dilaporkan diantaranya dikarenakan seringkali penyintas berada di posisi yang lebih lemah, sehingga takut untuk melaporkan kekerasan seksual yang terjadi padanya. Penyintas juga acapkali tidak memiliki bukti atas kekerasan seksual yang terjadi padanya. Kekerasan seksual biasanya terjadi dengan cepat atau dalam keadaan sepi, sehingga proses pengambilan bukti sulit dilakukan.

Tidak adanya bukti membuat laporan yang diajukan oleh penyintas tidak diproses, atau bahkan penyintas dapat teracam pasal pencemaran nama baik jika ia melaporkan kejadian yang terjadi padanya secara publik seperti lewat media sosial. Lebih lanjut lagi, banyak penyintas yang memilih untuk tidak melaporkan kekerasan seksual yang terjadi pada mereka, karena tidak yakin bahwa kasusnya akan diusut. Sementara, banyak pimpinan kampus yang gamang untuk bertindak karena tidak ada payung hukum mengenai penanganan kekerasan seksual di kampus.

Dengan adanya Permendikbud-Ristek tentang PPKS, penyintas kekerasan seksual yang melaporkan tindakan yang terjadi padanya akan mendapat perlindungan dari Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, yang selanjutnya disebut sebagai Satuan Tugas/Satgas. Keanggotaan Satgas terdiri atas unsur pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Satgas juga ditugaskan untuk menerima laporan, memeriksa, dan memberi rekomendasi pada pimpinan perguruan tinggi untuk memberi sanksi pada terduga pelaku kekerasan. Namun, perlu diatur lebih lanjut mengenai independensi dan peran satgas dalam penanganan kasus yang terjadi. Selain itu, dalam Permendikbud tersebut juga diatur mengenai pendampingan, perlindungan, dan pemulihan penyintas yang wajib dilakukan oleh yang sebelumnya tidak diatur.

Menurut Pelaksana tugas Direktur Jenderal Perguruan Tinggi Kemendikbud-Ristek, Nizam (dalam cnnindonesia.com, 20/11/2021), sejak rilisnya Permendikbud-Ristek tentang PPKS, laporan kekerasan seksual di ranah perguruan tinggi mulai bermunculan. Penyintas kekerasan yang sebelumnya tidak berani melaporkan tindakan yang terjadi padanya, kini berani melapor. Permendikbud tersebut menjadi harapan di tengah kekosongan sistem penanganan kekerasan seksual yang ada di kampus, sehingga harus kita dukung dan apresiasi.

Memang terdapat beberapa pihak yang kontra terhadap Permendikbud-Ristek tersebut. Pihak yang kontra menganggap bahwa aturan tersebut melegalkan hubungan seksual dengan consent/persetujuan. Anggapan tersebut sama sekali tidak dapat dibenarkan. Menurut Direktur Advokasi dan Jaringan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, istilah persetujuan korban memang digunakan dalam konstruksi tindakan kekerasan.

Dalam Permendikbud-Ristek mengenai PPKS tertulis  bahwa unsur-unsur “persetujuan korban” mencakup “tidak dalam tekanan, sadar dan tidak rentan”. Menurut Fajri, aspek persetujuan dalam hukum berkaitan dengan kecakapan dan kedewasaan peserta didik. Seorang yang dewasa dapat menilai akibat hukum dari tindakannya. Namun, otonomi tindakan orang tersebut bukan berarti mengesampingkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Oleh karena itu, istilah persetujuan korban dalam aturan tersebut tidak dapat diartikan sebagai pelegalan zina. Istilah “persetujuan korban” dalam aturan tersebut ditujukan pada tindakan kekerasan, bukan tindakan zina. Jika pihak yang kontra ingin mengatur mengenai zina, maka dibutuhkan aturan tersendiri diluar aturan mengenai kekerasan seksual.

Selain itu, harus kita pahami bersama bahwa lingkup dari aturan ini adalah mengenai penanganan kekerasan seksual, bukan tindak asusila yang telah di atur dalam aturan lain.

 

Rekomendasi
Karena urgensinya, Permendikbud Ristek tentang PPKS harus kita apresiasi dan kita kawal dalam proses implementasinya. Berikut beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk mendorong hal tersebut. Pertama, Pimpinan Perguruan Tinggi wajib mengimplementasikan Permendikbud tentang PPKS, dan menerbitkan mekanisme (SOP) untuk menerapkan aturan tersebut. Kedua, Kemendikbud-Ristek dan pimpinan perguruan tinggi perlu memperkuat keanggotaan dan independensi satgas karena memiliki peran yang penting dalam menindaklanjuti laporan penyintas.

Ketiga, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu untuk segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai upaya penghapusan kekerasan seksual secara menyeluruh, bukan hanya di lingkup perguruan tinggi saja. Keempat, DPR perlu mengesahkan RUU Kesetaraan Gender, agar perempuan dapat terbebas dari diskriminasi.

Kelima, organisasi masyarakat sipil, pihak perguruan tinggi, Kemendikbud-Ristek, Komnas Perempuan, dan pemangku kepentingan lain yang terkait perlu menggencarkan edukasi dan sosialisasi mengenai kekerasan seksual dan kesetaraan gender agar kesadaran mengenai hal tersebut semakin meluas, baik itu di lingkungan perguruan tinggi maupun masyarakat.

 

Nisaaul Muthiah
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
nisaaul@theindonesianinstitute.com

Komentar