Pada hari Sabtu, 25 Spetember 2021 yang lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Azis Syamsuddin sebagai tersangka dalam dugaan korupsi pemberian hadiah atau janji terkait penanganan perkara yang ditangani oleh KPK di Kabupaten Lampung Tengah. Azis diduga memberikan uang pelicin sebesar Rp3,1 miliar kepada mantan penyidik KPK Stepanus Robin untuk mengurus perkara di Lampung Tengah yang menyeret namanya dan kader Partai Golkar lainnya, yaitu Aliza Gunado, yang tengah diselidiki KPK (kompas.com, 25/9).
Kasus yang menyeret Azis menambah daftar pimpinan DPR yang pernah terjerat kasus korupsi. Sebelumnya ada nama Ketua DPR, Setya Novanto yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus korupsi mega skandal korupsi e-KTP. Selanjutnya ada nama Taufik Kurniawan, yang saat itu menjadi Wakil Ketua DPR 2014-2019. KPK menetapkan Taufik sebagai tersangka dalam kasus dana alokasi khusus (DAK) APBN-P 2016 (detik.com, 23/9). Mirisnya, kasus korupsi juga bukan hanya menjerat tiga mantan pimpinan DPR di atas.
Data KPK memperlihatkan bahwa sejak tahun 2004 hingga bulan Mei 2020, terdapat 257 kasus yang menjerat anggota DPR/DPRD (mediaindonesia.com, 30/9/2020). Sedangkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, setidaknya 586 anggota DPR/DPRD menjadi tersangka korupsi dalam kurun waktu dari tahun 2010 sampai tahun 2019 (republika.co.id, 15/10).
Salah satu penyebab maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh wakil rakyat, adalah biaya politik yang tinggi. Susan Rose-Ackerman (1999) mengatakan kebutuhan untuk memenangkan suara, mendorong politisi untuk mengeluarkan biaya kampanye yang lebih tinggi dengan mengalokasikan uangnya untuk memberikan uang kepada pemilih.
Tingginya biaya kampanye ini menjadi salah satu penyebab politisi melakukan korupsi guna mengganti biaya politik yang telah mereka keluarkan sebelumnya, serta sekaligus menambah kekayaan dalam rangka biaya kampanye ke depannya. Hal inilah yang kemudian memberikan kontribusi terhadap rusaknya sistem demokrasi.
Melihat permasalahan di atas, maka yang perlu dilakukan adalah mendorong reformasi partai politik di Indonesia. Berdasarkan studi The Indonesian Institute (TII) tentang “Mendorong Reformasi Kelembagaan Partai Politik untuk Menjadi Inklusif, Relevan, dan Responsif”, salah satu cara untuk mereformasi partai politik adalah dengan memperbaiki mekanisme rekrutmen untuk jabatan politik (2021).
Rekrutmen politik harus mengedepankan sistem meritokrasi, kesetaraan gender, dan keterwakilan, daripada hanya memenuhi kepentingan kekerabatan atau kelompok atau golongan, serta pertimbangan favoritisme yang selama ini sering diterapkan untuk kepentingan jangka pendek dan pragmatis semata. Melalui proses yang dilakukan secara terbuka, transparan, dan akuntabel, diharapkan rekrutmen politik dapat benar-benar berjalan secara demokratis dengan dukungan kader yang berintegritas, berkomitmen, dan memiliki kompetensi. Selain itu, diperlukan juga penguatan pengaturan tentang pelaporan dana kampanye sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas keuangan partai politik, khususnya dalam kampanye (TII, 2021).
Berdasarkan studi tersebut, maka sangat penting bagi partai politik sebagai pilar demokrasi untuk mereformasi diri agar mencegah terjadinya korupsi politik dalam sistem yang demokratis. Kegagalan partai politik untuk berbenah diri akan berimbas pada kualitas demokrasi dan pemerintahan, serta rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Namun, jika partai politik berhasil melakukan reformasi, maka hal ini akan berdampak pada peningkatan kualitas demokrasi dan pemerintahan yang hadir untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, sudah selayaknya reformasi partai politik menjadi agenda utama demi memperkuat demokrasi dan menjaganya dari praktik korupsi politik di Indonesia.
Rekomendasi
Kasus korupsi yang melibatkan Azis Syamsuddin sebagai pimpinan lembaga tinggi negara telah memberikan tambahan catatan merah dalam korupsi politik di Indonesia. Dampak dari korupsi politik seperti yang terjadi dalam kasus Azis tentunya akan merusak demokrasi di Indonesia.
Hal ini dikarenakan pertama, korupsi politik akan menyebabkan turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi. Kedua, korupsi politik juga ikut menurunkan kepercayaan dan kualitas DPR sebagai lembaga tinggi negara dalam sistem demokrasi dalam menjalankan peranannya. Dari kedua dampak ini juga ikut merusak jalannya demokrasi di Indonesia karena praktik korupsi dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan di dalam sistem demokrasi.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan anti korupsi guna mengatasi korupsi yang semakin sistemik di negeri ini. Beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu, pertama, partai-partai politik didorong untuk melakukan reformasi dengan mendorong penguatan internal partai untuk membuka ruang demokrasi dalam pemilihan calon pejabat publik. Kedua, mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk membuat aturan tegas yang melarang dan menindak politik uang dalam kampanye pemilihan umum.
Ketiga, mendorong partai-partai politik untuk memperkuat komitmennya dalam pemberantasan korupsi, termasuk dengan membuka keuangan partai politik agar transparan dan akuntabel. Lebih jauh, partai politik juga harus berani memecat anggota maupun pengurus yang terbukti terlibat dan/atau melakukan korupsi.
Keempat, mendorong partisipasi masyarakat, baik melalui organisasi masyarakat sipil maupun media, untuk berperan aktif dalam mengawasi partai politik maupun lembaga demokrasi lainnya, serta melaporkan pihak-pihak yang terkait kasus korupsi ke aparat penegak hukum.
Arfianto Purbolaksono – Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute arfianto@theindonesianinstitute.com