Korupsi Politik di Kasus e-KTP

Sidang perdana kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis Elektronik (E-KTP) 2011-2012 digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (9/3) yang lalu. Pada sidang perdana tersebut, duduk sebagai terdakwa yaitu Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman. Kasus korupsi e-KTP sendiri, menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 2,3 triliun (kompas.com, 09/03/17).

Sebelumnya, KPK telah memeriksa 283 orang sebagai saksi. Mereka terdiri dari politisi, pengusaha, hingga pejabat dan mantan pejabat di Kementerian Dalam Negeri. Diduga, ada sejumlah nama, termasuk anggota DPR RI periode 2009-2014, yang disebut dalam dakwaan. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo berharap tidak terjadi guncangan politik akibat perkara dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Sebab, perkara korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun itu diduga kuat melibatkan nama-nama besar (kompas.com, 3/3).

Melihat adanya dugaan nama-nama politisi dan mantan pejabat yang terseret dalam kasus E-KTP ini, maka dapat kita pahami bahwa kekuasaan memiliki potensi besar untuk disalahgunakan. Sebagaimana pendapat Robert Klitgaard (2000) yang menyatakan bahwa korupsi bisa berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi. Senada dengan Klitgaard, H. A. Brasz sebagaimana dikutip oleh Mochtar Lubis dan James C Scott menyatakan korupsi  sebagai  penggunaan  yang  korup dari kekuasaan yang dialihkan, atau sebagai penggunaan secara diam-diam kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat pada kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan tujuan-tujuan kekuasaan asli dan dengan menguntungkan orang luar atas dalih menggunakan kekuasaan itu dengan sah (Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, 1995).

Penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat negara dalam kasus E-KTP dapat dikatakan sebagai praktik korupsi politik. Korupsi politik secara sederhana dapat diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan dalam pemerintahan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Pejabat negara yang terlibat dalam korupsi politik biasanya menggunakan kewenangan yang ada ditangannya untuk mendapatkan keuntungan, baik material maupun non material.

Definisi korupsi politik sendiri menurut Kamus Internasional Hukum dan Legal adalah penyalahgunaan kekuasaaan politik oleh pemimpin pemerintahan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan korupsi politik juga berarti melakukan tindakan korupsi untuk mempertahankan kekuasaan. Namun, penggunaan kekuasaan untuk tujuan lain misalnya represi terhadap lawan politik dan penggunaan polisi secara brutal tidak termasuk korupsi politik. Korupsi politik terjadi pada tingkat tertinggi dalam suatu sistem politik, dan dapat dibedakan  dari administrasi dan korupsi birokrasi. Dia juga dapat dibedakan dari bisnis dan korupsi sektor privat (https://definitions.uslegal.com/p/political-corruption/, 13/3/17).

Korupsi politik dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, akumulasi dan ekstraksi di mana pejabat pemerintah menggunakan dan menyalahgunakan kekuasaan yang ada ditangannya untuk mendapatkan keuntungan dari sektor privat, dari pajak pemerintah, dan dari sumber ekonomi secara besar-besaran. Contohnya adalah korupsi yang dilakukan sebagai rent-seeking di mana para calon pemimpin mencari modal keterpilihannya melalui janji pemberian proyek tertentu kepada pemodal politiknya ketika dia menjabat. Kedua adalah mengambil keuntungan dari sumber-sumber seperti dana publik untuk menyelamatkan dan memperkuat kekuasaannya. Hal ini biasanya dilakukan dengan memberikan dukungan dan patronasi politik kepada kelompok tertentu. Termasuk didalamnya adalah distribusi keuangan dan material yang memberikan manfaat, keuntungan dan memanjakan pihak tertentu (https://definitions.uslegal.com/p/political-corruption/, 13/3).

 

Penulis menilai bahwa praktik korupsi politik yang dilakukan politisi maupun pejabat lembaga tinggi negara merupakan tindakan berbahaya yang mengancam masa depan bangsa ini. Hal ini dikarenakan praktik korupsi politik berdampak pada, pertama, menurunkan kepercayaan publik terhadap partai politik. Kedua, menurunkan kepercayaan terhadap lembaga tinggi negara. Ketiga, menurunkan kualitas lembaga tinggi negara dalam menjalankan peranannya. Kemudian yang keempat, menurunkan kepatuhan hukum di mata masyarakat.

 

Melihat persoalan yang terjadi dalam kasus korupsi yang melibatkan pimpinan maupun pejabat lembaga tinggi negara, diperlukan kebijakan yang lahir dari kebijaksanaan guna mengatasi korupsi yang semakin sistemik di negeri ini. Oleh karena itu, pertama, diperlukan pengawasan yang ketat oleh masyarakat sipil terkait rekrutmen atau penerimaan pimpinan maupun pejabat di lembaga tinggi negara. Kedua, mendorong partai politik untuk memperkuat komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Ketiga, melakukan pelaporan dan publikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), secara berkala. LHKPN diharapkan ke depan, tidak hanya dilaporkan pada saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi dan pensiun. Tapi LKHPN juga dilaporkan secara berkala setiap saat pada masa jabatanya tersebut.

Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar